PEMBELAJARAN
BAHASA
TUGAS
diajukan untuk memenuhi
tugas perkuliahan
Pengantar
Psikolinguistik
yang dibina oleh Dra. Elya
Ratna, M.Pd.

Deta
Fitrianita/ 1300820
Nomor
Urut: 14
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA
DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2016
PEMBELAJARAN
BAHASA
A.
Tipe
Pembelajaran Bahasa
Ellis (dalam Chaer, 2009:243) menjelaskan “Adanya
dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam
kelas. Pertama, tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa
kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat bilingual dan multilingual tipe naturalistic banyak dijumpai.”
Sehubungan dengan itu, Chaer dan Agsutina (dalam Chaer, 2009:243) mencontohkan
kasus dua orang mahasiswa dari Tapanuli, Togar dan Sahat yang mengikuti kuliah
di Malang, pada awal kedatangannya tidak sedikit pun mengerti tentang bahasa
Jawa. Namun, karena orang di sekitarnya menggunakan bahasa Jawa setelah dua
tahun mereka bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik.
Chaer (2009:244) menjelaskan:
Tipe
kedua yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan
alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang
diperoleh secara formal dalam kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara
naturalistik. Namun, kenyataan di negeri kita yang bisa disaksikan hingga
sekarang hasil pembelajaran bahasa sangat tidak mengembirakan. Berbagai penyebab
telah diidentifikasikan dan berbagai perbaikan telah dilakukan, tetapi hasilnya
sama saja. Tetap tidak memuaskan. Hal ini sering menjadi cibiran generasi tua
yang mendapat pendidikan bahasa kedua pada zaman Belanda dahulu.
Penelitian mengapa pendidikan bahasa kedua zaman
Belanda dulu “berhasil” sedangkan pendidikan bahasa kedua sekarang tidak atau
kurang berhasil, penyebabnya pada hemat kami terletak pada faktor kedisiplinan.
Pendidikan bahasa kedua pada zaman Belanda dilakukan oleh guru yang pandai berbahasa
Belanda. Sedangkan pendidikan bahasa kedua dewasa ini, yakni bahasa Indonesia
dan juga bahasa bahasa Inggris dilakukan tanpa disiplin yang keras, tanpa
motivasi yang kuat, dan dilakukan oleh
guru yang kualitas berbahasanya sangat kurang (Chaer, 2009:244)
B.
Sejarah
Pembelajaran Bahasa
Nurhadi (dalam Chaer, 2009:245) menjelaskan dalam
sejarah perkembangannya ada empat tahap penting yang dapat diamati sejak 1880
sampai dasawarsa 80-an. Tahap pertama adalah periode antara 1880-1920. Pada
tahap ini terjadi rekontruksi bentuk-bentuk metode langsung yang pernah
digunakan atau dikembangkan pada zaman Yunani dulu. Metode langsung yang pernah
digunakan pada awal abad-abad Masehi direkontruksi dan ditetapkan di
sekolah-sekolah. Selain itu, dikembangkan juga metode bunyi yang juga berasal
dari Yunani.
Tahap kedua adalah masa antara tahun 1920 sampai
dengan tahun 1940. Pada masa ini di Amerika dan Kanada terbentuk forum belajar
bahasa asing yang kemudian menghasilkan aplikasi metode-metode yang bersifat
kompromi. Ini merupakan perluasan dari teknik-teknik pengajaran bahasa yang
lebih khusus. Tahap ketiga, adalah masa antara tahun 1940 sampai dengan tahun
1970, yang kemunculannya dilatarbelakangi oleh situasi peperangian (Perang
Dunia II), di mana orang beriktiar mencari metode belajar bahasa asing yang
paling cepat dan efisien untuk dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang
bertikai. Tahap ini secara teori dibagi tiga periode, yaitu periode 1940—1950,
periode 1950—1960, dan periode 1960—1970 (Chaer, 2009:245)
Chaer (2009:245) menjelaskan:
Periode
1940—1950 ditandai dengan lahirnya metode dengan nama American Army Method,
yang lahir dari markas militer Amerika, untuk keperluan ekspansi perang. Pada
periode ini dalam dalam dunia linguistik muncul juga pendekatan baru yang
disebut dengan nama pendekatan linguistik. Pendekatan ini merupakan imbas dari
lahirnya pandanagan strukturalis dalam bidang kebahasaan.
Menurut Chaer (2009:245) periode 1950—1960 ditandai
dengan munculnya metode audiolingual di Amerika dan metode audiovisual di
Inggris dan Prancis, sebagai akibat langsung dari keberhasilan American Army Method. Metode audiovisual dan audiolingual ini lahir
dari pandangan kaum behavioris dan akibat adanya penemuan alat-alat bantu
belajar. Yang menjadi landasan utama adalah teori Stimulus-Responnya B. F. Skinner. Dalam sejarah pembelajaran bahasa
periode ini ditandai juga dengan munculnya minat terhadap kajian
psikolinguistik, antara lain dengan terbitnya buku bahasa hasil suntingan
Osgood dan Sebeok berjudul Psycholinguistic:
A Survey of Theory and Research Problem
(1954).
Chaer (2009:246) menjelaskan periode ketiga
1960—1970 merupakan awal runtuhnya metode audiolingual dan audiovisual, dan
mulai populernya analisis kontratif, yang berusaha mencari landasan teori dalam
pengajaran bahasa. Metode audiolingual dan audiovisual yang pada periode
1950—1960 memperoleh sukses besar, tetapi menjadi diragukan lagi karena
hasil-hasil studi psikolinguistik dan pandangan-pandangan Noam Chomsky
menyiratkan bahwa kedua metode itu yang bersandar pada teori Stimulus-Respons
atau model tubian dan imitasi dalam pembelajaran bahasa itu tidak mempunyai
landasan teori yang logis.
Chaer (2009:246) menjelaskan:
Periode
keempat 1970—1980 merupakan periode yang paling inovatif dalam pembelajaran
bahasa kedua. Konsep dan hakikat belajar bahasa dirumuskan kembali, kemudian
diarahkan pada pengembagnan sebuah model pembelajaran yang efektif dan efisien
yang dilandasi oleh teori yang kokoh. Inti dari pola pikir yang sudah terbentuk
mengenai metode pengajaran bahasa selama waktu yang lalu dicoda diubah.
C.
Hipotesis
Pembelajaran Bahasa
1.
Hipotesis
Kesamaan antara B1 dan B2
Hipotesis ini menyatakan adanya kesamaan dalam
proses belajara B1 dan belajar B2. Kesamaan initerletak pada urutan pemerolehan
struktur bahasa, seperti modus interogasi, negasi, dan morfem-morfem
gramatikal. Hipotesis ini menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa diperoleh dengan
urutan-urutan yang diramalkan. Unsur kebahasaan tertentu akan diperoleh
terlebih dahulu, sementara unsur kebahasaan lain diperoleh baru kemudian. Studi
tentang urutan pemerolehan morfem gramatika bahasa Inggris telah membuktikan
hal ini (Nurhadi dalam Chaer, 2009:247). Sehubungan dengan itu, Chaer
(2009:247) berpendapat “Dalam hal penguasaan lafal, kanak-kanak dapat menguasai
B1 dengan pelafalan yang baik dan secara alamiah, sedangkan B2 dapat dikuasai
dengan pelafalan yang kurang sempurna. Memang hal ini belum terbukti
kebenarannya.”
2.
Hipotesis
Kontrastif
Hipotesis kontrastif dikembangkan oleh Charles Fries
dan Robert Lado. Hipotesis ini menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat dalam
belajar B2 adalah karena adanya perbedaan antara B1 dan B2. Sedangkan kemudian
dalam belajar B2 disebabkan oleh adanya kesamaan antara B1 dan B2. Jadi, adanya
perbedaan antara B1 dan B2 akan menimbulkan kesulitan dlam belajar B2, yang
mungkin juga akan menimbulkan kesalahan, sedangkan adanya persamaan antara B1
dan B2 akan menyebabkan terjadinya kemudahan dalam belajar B2 (Chaer,
2009:247).
Chaer (2009:247) menjelaskan:
Seorang
pembelajar bahasa kedua seringkali melakukan transfer B1 ke dalam B2 dalam
menyampaikan suatu gagasan. Transfer ini dapat terjadi pada semua tingkat
kebahasaan: tata bunyi, tata bentuk kata, tata kalimat, maupun tata kata
(leksikon). Dalam hal ini bisa terjadi transfer positif, yakni kalau strukturB1
dan B2 itu sama, dan ini akan menimbulkan kemudahan. Dapat juga terjadi
transfer negatif, yakni kalau struktur B1 dan B2 tidak sama dan ini akan
meimbulkan kesulitan.
3.
Hipotesis
Krashen
Berkenaan dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen
Krashen (dalam Chaer, 2009:247—250) mengajukan sembilan buah hipotesis yang
saling berkaitan. Kesembilan hipotesis itu adalah sebagai berikut.
a. Hipotesis
Pemerolehan dan Belajar
Menurut hipotesis pemerolehan dan belajae dalam
penguasaan suatu bahasa perlu dibedkan adanya pemerolehan dan belajar.
Pemerolhena adalah penguasaan suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau
alamiah dan terjadi tanpa kehendak yang terencana. Proses pemerolehan tidak
melalui usaha belajar yang formal atau eksplisit. Sebaliknya, yang dimaksud
dengan belajar adalah udsaha sadar untuk secara formal dan eksplisit menguasai
bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenaan dengan kaidah-kaidah bahasa.
Belajar terutama terjadi atau berlangsung dalam kelas.
b. Hipotesis
Urutan Alamiah
Hipotesis ini menyatakan bahwa dalam proses
pemerolehn bahasa kanak-kanak memperoleh unsur-unsur bahasa menurut urutan
tertentu yang dapat diprediksikan. Urutan ini bersifat alamiah. Hasil
penelitian menunjukan adnya pola pemerolehan unsur-unsur bahasa yang relatif
menunjukkan adanya pola pemerolehan unsur-unsur bahasa yang relatif stabil
untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
c. Hipotesis
Monitor
Hipotesis monitor ini menyatakan adanya hubungan
antara proses sadar dalam pemerolehan bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil
belajar dan proses bawah sadar menghasilkan pemerolehan. Kita dapat berbicara
dalam bahasa tertentu adalah karena sistem yang kita miliki sebagai hasil dari
pemerolehan, dan bukan dari hasil belajar. Semua kaidah tata bahasa yang kita
hafalkan tidak selalu membantu kelancaran dalam berbicara. Kaidah tata bahasa
kita sesuai ini hanya berfungsi sebagai monitor saja dalam pelaksanaan
berbahasa.
d. Hipotesis
Masukan
Hipotesis masukan menyatakan bahwa seseorang
menguasai bahasa melalui masukan yang dapat dipahami yaitu dengan memusatkan
perhaian pada pesan atau isi, dna bukannya pada bentuk. Hal ini berlaku bagi
semua orang dewasa maupun kanak-kanak, yang sedang belajar bahasa. Hipotesis
ini juga menyatakan bahwa kegiatan mendengarkan untuk memahami isi wacana
sangan penting dalam proses pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa secara
aktif akan datang pada waktunya nanti.
e. Hipotesis
Afektif
Hipotesis afektif menyatakan bahwa orang dengan
kepribadian dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa kedua dengan lebih
baik dibandingkan orang dengan kepribadian dan sikap yang lain. seseorang
dengan kepribadian terbuka dan hangat akan lebih berhasil dalam belajar bahasa
kedua dibandingkan orang dengan kepribadan yang agak tertutup.
f. Hipotesis
Pembawaan
Hipotesis pembawaan menyatakan bahwa bakat bahasa
mempunyai hubungan yang jelas dengan keberhasilan belajar bahasa kedua. Krashen
menyatakan bahwa sikap secara langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa
kedua, sedangkan bakat berhubungan dengan belajar. Mereka yang mendapat nilai
tinggi dalam tes bakat bahasa, pada umumnya berhadil baik dalam tes tata
bahasa. Jadi, aspek ini banyak berkaitan dengan belajar, dan bukan dengan
pemerolehan.
g. Hipotesis
Filter Afektif
Hipotesis filter afektif menyatakan bahwa sebuah
filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan sehingga seseorang tidak
atau kurang berhasil dalam usahanya untuk memperoleh bahasa kedua. Filter itu
dapat berupa kepercayaan diri yang kurang, situasi yang menegangkan, sikap
defensif, dan sebagainya, yang dapat mengurangi kesempatan bagi masukan untuk
masuk ke dalam sistem bahasa yang diiliki seseorang. Filter afektif ini lazim
juga disebut dengan mental block.
h. Hipotesis
Bahasa Pertama
Hipotesis bahasa pertama menyatakan bahwa bahsa
pertama anak akan digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi
penguasaan bahasa kedua belum tampak. Jika seseorang anak pada tahap permulaan
belajar bahasa kedua dipaksa untuk menggunakan atau berbicara dalam bahasa
kedua, maka dia akan menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa pertamanya.
Oleh karena itu, sebaiknya guru tidak terlalu memaksa sswanya untuk menggunakan
bahasa kedua yang dipelajarinya. Berilah kesempatan pada anak untuk mendapatkan
input yang bermakna untuk mengurangi
filter afektifnya. Dengan demikian, penguasaan bahasa kedua dengan sendirinya
akan berkembang pada waktunya.
i.
Hipotesis Variasi Individual Penggunaan
Monitor
Hipotesis variasi individual penggunaan monitor
berkaitan dengan hipotesis ketiga (hipotesis monitor), menyatakan bahwa cara
seseorang memonitor penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi.
Ada yag terus menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang
tidak pernah menggunakannya. Namun, diantara keduanya ada pula yang menggunakan
monitor itu sesuai dengan keperluan atau kesempatan untuk menggunakannya.
4.
Hipotesis
Bahasa-Antara
Chaer (2009:250) menjelaskan:
Bahasa
antara adalah bahasa/ ujaran yang digunakan seseorang yang sednag belajar
bahasa kedua pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan
baik dan sempurna bahasa kedua itu. Bahasa antara ini memiliki ciri bahasa
pertama dan ciri bahasa kedua. Bahasa ini bersifat khas dan mempunyai
karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa
kedua. Tampaknya semacam perpindahan dari bahasa pertama ke bahasa kedua.
Bahasa antara ini merupakan produk dari strategi
seseorang dalam belajar bahasa kedua. Artinya, bahasa ini merupakan kumpulan
atau akumulasi yang terus menerus dari suatu proses pembentukan bahasa (Chaer,
2009:250).
5.
Hipotesis
Pijinasi
Menurut Chaer dan Agustina (dalam Chaer, 2009:250),
hipotesis pijinasi dalam proses belajar bahasa kedua bisa saja selain
terbentuknya bahasa antara terbentuk juga yang disebut bahasa pijin, yakni
jenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam wilayah
tertentu yang berasa di wilayah tertentu yang berada di dalam dua bahasa
tertentu. Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam masyarakat
yang masing-masing memiliki bahasa sendiri. Jadi, bisa dikatakan bahwa bahasa
pijin ini tidak mempunyai penutur asli.
D.
Faktor
dalam Pembelajaran Bahasa
1.
Faktor
Motivasi
Menurut Chaer (2009:251) ”Pembelajaran bahasa kedua
ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan,
dorongan, ada tujuan yang ingin dicapai dalam belajar bahasa kedua cenderung
akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh
suatu dorongan, tujuan, atau motivasi.” Lambert dan Gardner (1972), Brown (1980), dan
Ellis (1986), juga mendukung pernyataan bahwa belajar bahasa akan lebih
berhasil bila dalam diri pembelajar ada motivasi tertentu itu.
Coffer
(dalam Chaer, 2009: 251) menyatakan “Motivasi adalah dorongan, hasrat, kemauan,
alasan, atau tujuan yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu.”
Sehubungan dengan hal itu, Brown (dalam Chaer, 2009:251) menyatakan “Motivasi
adalah dorongan dari dalam, dorongan sesaat, emosi atau keinginan yang
menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu.” Selanjutnya, Menurut Lambert (dalam Chaer, 2009:251)
“Motivasi adalah alasan untuk mencapai tujuan secara keseluruhan. Jadi,
motivasi dalam pembelajaran bahasa berupa dorongan yang datang dari dalam diri
pembelajar yang menyebabkan pembelajar memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari
suatu bahasa kedua.”
Gardner
dan Lambert (dalam Chaer, 2009: 251) menjelaskan ada dua fungsi motivasi dalam
pembelajaran bahasa kedua, yaitu sebagai berikut.
a. Fungsi
Integratif
Motivasi berfungsi integratif kalau motivasi itu
mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan
masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut.
b. Fungsi
Instrumental
Motivasi berfungsi instrumental adalah kalau
motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kemauan untuk mempelajari
bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin
memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas masyarakat.
2.
Faktor
Usia
Menurut Djunaidi (dalam Chaer, 2009:252):
Ada
anggapan umum dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan
lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang
dewasa. Anak-anak tampaknya lebih mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan
orang dewasa tampaknya mendapat kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran
bahasa kedua.
Hasil penelitian mengenai faktor usia dalam
pembelajaran bahasa kedua menunjukkan hal berikut ini.
a. Dalam
hal urutan pemerolehan tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab
urutan pemerolehan oleh kanak-kanak dan orang dewasa tampaknya sama saja
(Fathman, Dulay, Burt, dan Krashen (dalam Chaer, 2009: 252).
b. Dalam
hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan sebagai
berikut. 1) anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan
sistem fonologi atau pelafalan seperti asli; 2) orang dewasa tampaknya maju
lebih cepat daripada kanak-kanak dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling
tidak pada permulaan masa belajar; 3) kanak-kanak lebih berhasil daripada orang
dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat (Oyama, Dulay, Burt, dan Krashen,
Asher, dan Gracia (dalam Chaer, 2009: 253).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan
bahwa faktor umur, yang tidak dipisahkan dari faktor lain, adalah faktor yang berpengaruh
dalam pembelajaran bahasa kedua. Perbedaan umur mempengaruhi kecepatan dan
keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan
sintaksis; tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya (Chaer,
2009:253).
3.
Faktor
Penyajian Formal
Chaer (2009:253) menjelaskan:
Pembelajaran
atau penyajian pembelajaran bahasa secara formal memiliki pengaruh terhadap
kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor
dan variabel telah dipersiapkan dan diadakan dengan sengaja. Keadaan lingkungan
pembelajaran bahasa kedua secara formal, di dalam kelas, sangat berbeda dengan
lingkungan pemebelajaran bahasa kedua secara naturalistik atau alami.
Steiberg (dalam Chaer,
2009:253—254) menyebutkan karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di kelas
atas lima segi, yaitu sebagai berikut.
a. Lingkungan
pembelajaran bahasa di kelas sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial kelas
yang meliputi penyesuaian-penyesuaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan.
b. Di
lingkungan kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik, yang dilakukan
guru berdasarkan kurikulum yang digunakan.
c. Di
lingkungan kelas disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk
meningkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan
alamiah.
d. Di
lingkungan kelas sering disajikan data dan situasi bahasa yang artifisial
(buatan), tidak seperti dalam lingkungan kebahasaan alamiah.
e. Di
lingkungan kelas disediakan alat-alat pengajaran seperti buku teks, buku
penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus diselesaikan, dan sebagainya.
Berdasarkan kelima karakter tersebut
dapat disimpulkan lingkungan kelas merupakan lingkungan yang memfokuskan pada
kesadaran dalam memperoleh kaidah-kaidah dan bentuk-bentuk bahasa yang
dipelajari.
Menurut Chaer (2009:254—255), kondisi
lingkungan kelas yang khas dalam pembelajaran bahasa kedua tentunya ada
pengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa kedua, yang dapat diperinci
dalam hal sebagai berikut.
1)
Pengaruh terhadap kompetensi, lingkungan
formal di kelas cenderung berfokus pada penguasaan kaidah-kaidah dan
bentuk-bentuk bahasa secara sadar.
2)
Pengaruh terhadap kualitas performansi,
performansi merupakan realisasi kompetensi kebahasaan yang dimiliki seseorang.
3)
Pengaruh terhadap urutan pemerolehan,
yang dimaksud dengan urutan pemerolehan di sini adalah pemerolehan morfem
gramatikal.
4)
Pengaruh terhadap kecepatan pemerolehan,
kecepatan pemerolehan adalah kecepatan menangkap masukkan itu sebagai
pembendaharaan kebahasaannya.
4. Faktor Bahasa Pertama
Menurut Ellis (dalam Chaer, 2009:
256), “Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa
pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu diperoleh) mempunyai pengaruh
terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar.” Sehubungan dengan itu, Dulay
(dalam Chaer, 2009: 256) menjelaskan seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur-unsur
bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah yang
disebut interferensi, alih kode, campur kode, atau juga kekhilafan. Berdasarkan
teori atau hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Menurut teori stimulus-respons yang
dikemukakan oleh kaum behaviorisme, bahasa adalah hasil perileku
stimulus-respons.
b.
Teori konstratif menyatakan bahwa
keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan
linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh si pembelajar.
5. Faktor Lingkungan
Menurut
Dulay (dalam Chaer, 2009: 257), ”Kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi
seorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa
kedua). Yang dimaksud dengan lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar
atau dilihat oleh pembelajar sehubungan bahasa kedua yang sedang dipelajari.
Kualitas lingkungan bahasa ini merupakan sesuatu yang penting bagi pembelajar
untuk memperoleh keberhasilan dalam mempelajari bahasa kedua.” Lingkungan
bahasa ini dapat dibedakan sebagai berikut.
a. Pengaruh Lingkungan Formal
Lingkungan
formal adalah salah satu lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan pada
penguasaan kaidah-kaidah bahasa yang sedang dipelajari secara sadar. Sehubungan
dengan hal ini Krashen (dalam Chaer, 2009: 258) menyatakan lingkungan formal
bahasa itu memiliki ciri-ciri: 1) bersifat artifisial; 2) merupakan bagian dari
keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah; 3) di dalamnya pemebelajar diarahkan
untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang
dipelajari dan diberikan balikan oleh guru dalam bentuk koreksi terhadap
kesalahan yang dilakukan oleh oleh pembelajar.
b. Pengaruh Lingkungan Informal
Chaer (2009: 260) menjelaskan:
Lingkungan
informal bersifat alami atau natural, tidak dibuat-buat. Yang termasuk
lingkungan informal ini antara lain bahasa yang digunakan kawan-kawan sebaya,
bahasa pengasuh atau orang tua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis
pembelajar, yang digunakan media massa, bahasa para guru, baik di kelas maupun
di luar kelas. Secara umum lingkungan ini dapat dikatakan sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar bahasa kedua para pembelajar. Hal ini dapat diketahui
dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan para pakar terhadap lingkungan
informasi teman sebaya, orang tua, bahasa guru, dan bahasa penutur asing.
E.
Teori
Pembelajaran Bahasa
1. Prinsip
Pelaksanaan A (Perhatikanlah Akhiran Kata-kata)
Tarigan
(1985:302) menjelaskan “Fakta dari sejumlah bahasa yang menyarankan bahwa
penanda-penanda dari ketatabahasaan yang berupa sufiks lebih mudah dipelajari
dariapada preposisi.” Slobin (dalam Tarigan, 1985:302) mengemukakan “Sejumlah
contoh lain yang memperlihatkan bahw sarana-sarana semantik yang bersamaan
dalam berbagai bahasa akan lebih cepat dipelajari kalau disandikan sebagai
sufiks.” Impkasi prinsip pembelajaran A ini ialah bahwa apabila anak0anak
dihadapkan pada sejumlah data linguistik primer, maka pertama sekali mereka
mengamati dengan teliti akhiran-akhiran kata bagi sarana-sarana ketatabahasaan.
2. Prinsip
pelaksanaan B (Bentuk-bentuk Fonologi Kata-kata dapat Diubah Secara Sistematis)
Tarigan
(1985:302) menjelaskan:
Prinsip A
digabungkan dengan prinsip B memperbolehkan kanak-kanak mempelajari morfologi
infleks. Agaknya kanak-kanak hampir tidak dapat memperhatikan akhiran-akhiran
kata-kata yang baik kalau mereka tidak menaruh minat untuk mengamati variasi
yang sistematis pada sufiks. Hal ini menunjukkan bawa sarana pemerolehan bahasa
pada kanak-kanak mengetahui bahwa satuan-satuan linguis lebih kecil dari pada
kata dan mengharap melihat kesatuan-kesatuan serupa itu sebagai sufiks yang
berbeda dengan cara-cara yang sistematis.
3. Prinsip
Pelaksanaan C (Perhatikan Susunan Kata-kata dan Morfem-morfemnya)
Menurut Tarigan
(1985:303) “Kanak-kanak biasanya mempergunakan susunan kata baku bahasa mereka
dalam kalimat-kalimat mereka sendiri. Dalam susunan bahasa yang mempunyai
susunan kata yang sudah tetap, maka struktur-struktur yang membentuk susunan
baku adalah lebih sulit bagi anak-anak memahaminya daripada yang tidak
mempunyai susunan tetap.”
4. Prinsip
Pelaksanaan D (Hindarilah Gangguan atau Penyusunan Kembali Kesatuan-kesatuan
Linguistik)
Dipandang dari
segi pengolahan kalimat maka kalimat-kalimat akan semakin sulit bila semakin
besar pula pemisahan antara bagian-bagian kalimat yang bersangkutan itu.
Mungkin hal itu disebabkan oleh ingatan jangka pendek kanak-kanak yang terbatas
itu turut disumbangkan pada prinsip ini (Tarigan, 1085:303—304).
5. Prinsip
Pelaksanaan E (Hubungan-hubungan Ketatabahasaan Dasar Hendkalah dengan Jelas
dan Tegas)
Tarigan
(1985:304) mengemukakan bahwa prinsip E ini
menyarankan bahwa hubungan-ubungan ketatabahasaan dipelajari lebih cepat
dan juga bahwa dalam ujaran kanak-kanak itu sendiri akan terdapat suatu tekanan
untuk menandai hubungan-ubungan ketatabahasaan. Prinsip ini seakan-akan
meramalkan bahwa hubungan-hubungan yang telah diandai itu akan ebih mudah
dipahami pada kalimat-kalimat individual.
6. Prinsip
Pelaksanaan F (Hindari Kekecualian)
Salah satu aspek
bahasa kanak-kanak yang anmat menyolok adalah kecendrungan kanak-kanak untuk
telalu menyamaratakan kaidah-kaidah sekali mereka mempelajarinya. Bukan saja
kanak-kanak memegang teguh tata bahasa mereka terdahulu dengan kaidah-kaidah
yang amat umum, juga benar bahwa lebih mudah bagi mereka mengembangkan
kaidah-kaidah yang melukiskan fenomena yang amat umum. Semakin jelas suatu
proses sintaksis atau morfologi, maka semakin cepat dipelajri oleh kanak-kanka
dalam masyarakat linguistik tersebut (Tarigan, 1985:305).
7. Prinsip
Pelaksanaan G (Penggunaan Tanda-tanda Ketatabahasaan Hendaknya Menimbulkan Rasa
Semantik)
Menurut Chaer
(1985:305), “Walaupun tata bahasa suatu bahasa membangun kaidah-kaidah yang
dapt dipergunakan untuk menyandingkan makna-makna menjadi bunyi-bunyi dalam
bahasa tersebut, namun harus pula disadari bahwa banyak sarana linguistik yang
bebas semantik. Bentuk-bentuk serupa itu amat sulit dipelajari oleh kanak-kanak.”
Sehubungan dengan itu, Slobin (dalam Chaer, 2985:305) menunjukkan bahwa “Dalam
bahasa-bahasa yang mengenal akhiran-akhiran kasus sebagai penanda
hubungna-hubungan ketatabahasaan, ternyata kasus-kasus itu sendirilah yang
mula-mula dikuasai, tetapi infleksi-infleksi semakin bertambah sukar, terutama
sekali kasus-kasis menandai jenis kelamin.”
Referensi:
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar