KRONOLOGIS
PEMEROLEHAN BAHASA
TUGAS
diajukan untuk memenuhi
tugas perkuliahan
Pengantar
Psikolinguistik
yang dibina oleh Dra. Elya
Ratna, M.Pd.

Deta
Fitrianita/ 1300820
Nomor
Urut: 14
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
KRONOLOGIS
PEMEROLEHAN BAHASA
A.
Pemerolehan
Fonologi
1.
Teori
Struktural Universal
Teori struktural universal dikemukakan dan
dikembangkan oleh Jakobson (1968). Oleh karena ini sering juga disebut dengan
teori Jakobson. Chaer (2009:202) menjelaskan “Pada intinya teori struktural universal
mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur
universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang mengatur setiap
perubahan bunyi.”
Jakobson (dalam Chaer, 2009:202) melalui
penelitiannya ia mengamati bahwa:
Pengeluaran
bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel dan menemukan bahwa bayi yang normal
mengeluarkan berbagai ragam bunyi dalam vokalisasinya baik bunyi vokal maupun
bunyi konsonan. Namun ketika bayi mulai memperoleh ‘kata’ pertamanya maka
kebanyakan bunyi-bunyi ini menghilang. Sebagian dari bunyi-bunyi itu baru
muncul kembali beberapa tahun kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menimpulkan
adanya dua tahap dalam pemerolehan fonologi, yaitu tahap membabel prabahasa dan
tahap pemerolehan bahasa murni.
Jakomson memprediksi bahwa bayi-bayi akan memperoleh
kontras atau oposisi antara hambat bilabbial dengan hambat dental atau hambat alveolar
lebih dahulu dari[ada kontras-kontras di antaara bilabial dan velar atau di
antara dental dengan velar. Lebih jauh, Jakobson juga meramalkan bahwa konsonan
hambat akan dahulu diperoleh daripada frikatif dan afrikat dan yang terakhir
diperoleh adalah bunyi-bunyi likuida seperti [l] dan [r] dan bunyi luncuran
(glide) [y] dan [w] (Chaer, 2009:204).
Di dalam bukunya yang lain, Jakobson (dalam Chaer,
2009:204) mengemukakan bahwa:
Pemerolehan
bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial), sedangkan pemerolehan bunyi
vokal dimulai dari satu vokal lebar, biasanya bunyi [a]. Jadi, pada waktu yang
sama konsonan bilabial, biasanya [p], dan vokal lebar, biasanya [a] membentuk
satu model silabel yang universal yaitu KV (konsonan+vokal) yang mencerminkan
apa yang disebut “konsonan optimal+vokal optimal”. Berdasarkan pola inilah
nanti akan muncul satuan-satuan bermakna dalam ucapan kanak-kanak yang biasanya
terjadi dalam bentuk reduplikasi, misalnya [pa + pa].
Jakobson (dalam Chaer, 2009:204—205) menjelaskan
bahwa urutan pemerolehan kontras fonemik bersifat universal. Artinya, bisa
terjad dalam bahasa apa pun dan oleh kanak-kanak mana pun. Maka setelah
konsonan bilabial dan vokal lebar, akan muncul oposisi bunyi oral dan bunyi
nasal kemiduan diikuti oleh oposisi labial dan dental/alveolar. Jadi, menurut
Jakobson urutan pemerolehan konsonan adalah bilabial-dental (alveolar) –
palatal – velar. Ini berarti apabila seorang anak telah dapat membunyikan
konsonan frikatif, berarti dia juga telah mampu membunyikan bunyi-bunyi hambat.
Munculkan konsonan belakang oleh kanak-kanak menandakan bahwa ia juga telah
menguasai konsonan depan. Inilah yang oleh Jakobson disebut hukum-hukum
implikasi. Namun, perlu diingat bahwa yang diperoleh anak-anak bukanlah bunyi-bunyi
secara satu per satu, melainkan dalam oposisinya (kontrasnya) dengan
bunyi-bunyi lain dalam sistem hukum-hukum di atas.
Seringnya sesuatu bunyi diucapkan seorang dewasa
terhadap kanak-kana tidak menentukan munculnya bunyi tersebut dalam ucapan
kanak-kanak. Yang menentukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya
bunyi-bunyi itu muncul dalam bahasa-bahasa dunia. Jika suatu bunyi sering
muncul dalam bahasa-bahasa dunia, maka bunyi-bunyi itu akan lebuh dulu muncul
dalam ucapan kanak-kanak, meskipun bunyi itu
jarang muncul dalam data masukan yang didenganr oeh kanak-kanak
(Jakobson dalam Chaer, 2009:205).
2.
Teori
Generatif Struktural Universal
Teori struktural iniversal yang diperkenalkan oleh
Jakobson telah diperluas oleh Moskowitz dengan cara menerapkan unsur-unsur
fonologi generatif yang diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle. Yang paling
menonjol dari teori Moskowitz ini adalah ‘penemuan konsep’ dan ‘pembentukan
hipotesis’ berupa rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data
linguistik utama (DLU), yaitu kata-kata dan kalimat-kalimat yang didengarnya
sehari-hari.
Moskowitz (dalam Chaer, 2009:206) berpendapat bahwa
sejak awal proses pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan
antara bunyi bahasa manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia.
Hal ini termasuk ‘kemampuan nurani’ yang dimiliki bayi sejak dilahirkan.
Kemudian pada masa membabel bayi mengembangkan kemampuan inguistiknya dengan
cara menyesuaikan ucapan-ucapannya dengan persepsi bunyi yang didengarnya. Hal
ini membuat si bayi semakin mampu mengenal dirinya sebagai anggota masyarakat
manusia di sekitarnya. Selanjutnya Moskowitz juga mengatakan sejak awal proses
pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa
manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia.
Sesudah kanak-kanak menemukan unit kalimat ditandai
oleh kontur intonasi, maka kanak-kanak akan menemukan unit utama kedua yaitu
unit suku kata, yakni bagian dari kata yang merupakan satu satuan bunyi di
bawah kata ini. Unit suku kata ini dipahami kanak-kanak sebagai satu fitur suku
kata, bukan sebagai fitur-fitur fonem atau fon. Setelah menguasai unit suku
kata barulah kanak-kanak menguasai unit segmen, yakni konsonan atau vokal.
Urutan pemerolehan segmen ini tidak sama antara seorang kanak-kanak dengan
kanak-kanak lain. pemerolehan unit segmen segera diikuti oleh pemerolehan unit
yang lebih kecil yaitu unit fitur distingtif berupa oposisi atau
kontras-kontras yang bisa membedakan makna. Urutan pemerolehannya teratur dan
sesuai dengan urutan menurut teori Roman Jakobson. Moskowitz juga
memperkenalkan apa yang disebut idiom-idiom fonologi. Menurut perkembangannya
idiom-idiom fonologi ini terdiri dari idiom progresif dan idiom regresif. Yang
dimaksud dengan idiom progresif adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada
tahap awal telah menyamai bentuk yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, bentuk semakin dekat, dan seterusnya
menjadi tepat. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom regresif adalah apabila
bentuk yang telah menyamai bentuk orang dewasa itu berubah kebentuk yang lebih
primitif (Moskowitz dalam Chaer, 2009:208).
3.
Teori
Proses Fonologi Alamiah
Teori proses fonologi alamiah diperkenalkan oleh
David Stampe, yakni suatu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah
yang juga telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut Stampe proses fonologi
kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi),
pembatasan dan pengaturan sesuai dengan penuranian representasi fonemik orang
dewasa (Chaer, 2009:208—209).
Menurut Chaer (2009:209) suatu proses fonologi
terdiri dari kesatuan-kesatuan yang saling bertentangan. Umpamanya, terdapat
suatu proses yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak bersuara dalam semua
konteks, karena halangan oralnya menghalangi arus udara yang diperlukan untuk
menghasilkan bunyi-bunyi ini. Namun, bagaimanapun bunyi-bunyi ini akan menjadi
bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini
terjadi bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dna saling bertentangan.
Sebuah bunyi hambat tidak akan mungkin secara serentak bersuara dan tidak
bersuara pada lingkungan yang sama. Masalahnya yang bertentangan ini dapat
dipecahkan dengan iga cara berikut.
a. Menindas,
salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu. Umpamanya bila kanak-kanak
telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka beraarti
dia telah berhasial menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh
halangan oral bunyi itu.
b. Membatasi
jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya,
proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat tegang saja,
sedangkan bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
c. Mengatur
terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara
secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi
suara, lalu diikuti dengan proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini
tidak mungkin terjadi secara bersamaan.
4.
Teori
Prosodi-Akustik
Teori parodi-akustik diperkenalkan oleh Waterson
setelah dia merasa tidak puas dengan pendekatan fonemik segmental yang
dikatakannya tidak memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai pemerolehan
fonologi. Pendekatan fonemik segmental menganggap bahwa kanak-kanak memperoleh
fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan fonetik yang berkaitan telah
dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut maka Weterson menggunakan pendekatan
nonsegmental, yaitu pendekatan persodi yang dianggapnya lebih berhasil.
Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis persodi hanya
melihat dari analisis artikulasi saja.
Menurut Waterson (dalam Chaer, 2009:211) “Pemerolehan
bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantik dan fonologi,
kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.” Selanjutnya, Waterson (dalam Chaer,
2009:212) mengatakan bahwa:
Ia
menemukan adanya hubungan akustik antara bentuk-bentuk ucapak kanak-kanak
dengan fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa. Kanak-kanak anya mengucapkan
kembali bagian ucapan yang makan waktu kurang 0,2 detik, dan bagian yang
diucapkan kembali adalah elemen vokal dan konsonan yang mencapai artikulasi
kuat.
Satu hal lagi dari pemerolehan fonologi adalah
masalah sejauh mana kanak-kanak dihambat oleh pembatasan-pembatasan dalam
persepsi dan pengeluaran bunyi. Karena masalah ini menyangkut pengeluaran dan
persepsi, maka pengkajian pemerolehan fonologi haruslah pula dari sudut
artkulasi dan akustik. Namun, dari sudut akustik sangat sukar karena kita tidak
tahu apa sebenarnya yang diamati kanak-kanak sedangkan kita tidak bisa bertanya
kepadanya. Umpamanya seorang anak-anak mengucapkan <plate> yang berbunyi
[pleit] menjadi berbunyi [beip], apakah dia bisa membedakan tempat artikulasi
[p] dan [b], kita tidak tahu. Apakah dia mengucapkan [pleit] menjadi [beip].
Karena lebih mudah mengucapkannya atau karena dia tidak tahu perbedaannya.
Untuk memecahkan masalah ini, Waterson merujuk pada pengucapan orang dewasa:
orang dewasa lebih banyak ‘membuat kesalahan’ dalam tempat artikulasi daripada
cara artikulasi. Kanak-kanak tidak menaruh perhatian pada tempat artkulasi
untuk setiap pengucapan karena mereka tidak mampu menghadapi segala-galanya
pada waktu yang sama pada setiap peringkat (Chaer, 2009:212).
5.
Teori
Kontras dan proses
Teori kontras dan proses diperkenalkan oleh Ingram,
yakni suatu teori yang menggabungkan bagian-bagian penting dari teori Jakobson
dengan bagian-bagian penting dari teori Stampe, kemudian menyelaraskan hasil penggabungan
dengan teori perkembangan dari Piaget. Menurut Ingram (dalam Chaer, 2009:212)
“Kanak-kanak memperoleh sistem fonologi orang dewasa dengancara menciptakan
strukturnya sendiri dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya
mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan fonologi ini melalui
asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah struktur untuk
menyelaraskannya dengan kenyataan.”
Ingram (dalam Chaer, 2009:213) menegaskan kita harus
mengakui adanya ketiga peringkat perkembangan fonologi kanak-kanak.
Perkembangan fonologi kanak-kanak harus dapat menerangkan tiga peringkat yaitu,
persepsi, organisasi, dan pengeluaran. Karena fonologi membicarakan
kontras-kontras dan berusaha memberikan satu pengucapan pada tiap morfem, maka
kanak-kanak haruslah berusaha memperoleh kontras-kontras dalam
pengucapan-pengucapan itu.
Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram
sejalan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif dari Piaget. Pada tahap
persepsi yang belum prosuktif itu terdapat dua subtahap yaitu tahap vokalisasi
praucapan dan tahap fonologi primitif (Chaer, 2009:213).
Menurut Chaer (2009:214) tahap vokalisasi praacuan
adalah tahap sebelum kata-kata pertama muncul yang dimulai dengan mendekut
ketika berumur empat bulan. Kemudian diikuti dengan membabel. Menurut Ingram
membabel ini bukanlah kegiatan semaunya, melainkan merupakan suatu kegiatan
yang agak teratur dan maju berkelanjutan. Membabel ini bukan merupakan satu
latihan, melainkan ada hubungannya dengan seluruh [roses pemerolehan fonologi.
Chaer (2009:214) menjelaskan tahap fonologi primitif
muncul pada tahap satu kata (holofrasis) dlam pemerolehan sintaksis. Tahap ini
pun belum produktif karena kanak-kanak belum memperoleh rumus-rumus fonologi
yang sebenarnya. Sesudah menganalisis data ucapan dari sejumlah kanak-kanak,
Ingram menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak seluruhnya benar. Umpamanya,
menurut teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang muncul adalah KV atau
reduplikasinya KVKV; tetapi menurut data bentuk VK juga banyak muncul.
Begitupun bentuk pengulangan yang ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak
yang satu dengan kanak-kanak yang lain.
Pada tahap pengeluaran yakni tahpa pengeluaran yang
aktif, yang dimulai ketika berusia satu tahun setengah terdapat dua peristiwa
penting yaitu terjadinya pertumbuhan kosakata dengan cepat dan munculnya
ucapan-ucapan dua kata. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengembangkan
kemampuannya untuk menentukan bunyi-bunyi ucapan yang dapat dipakai untuk
menyatakan perbedaan makna. Tahap ini berlangsung sampai kanak-kanak berumur
tiga tahun enam bulan (Chaer, 2009:214).
Menurut Chaer (2009: 214—215) pemerolehan setiap
bunyi tidak terjadi secara tiba-tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara
perlahan-lahan dan berangsur-angsur. Ucapan kanak-kanak selalu berubah antara
ucapan yang benar dan tidak benar secara progresif sampai ucapan seperti orang
dewasa tercapai. Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi melalui bebrapa
proses penyederhanaan umum yang melibatkan semua kelas bunyi.
B.
Pemerolehan
Sintaksis
1.
Teori
Tata Bahasa Pivot
Chaer (2009:183—184) kajian mengenai pemerolehan
sintaksis oleh kanak-kanak dimulai oleh Braene, Bellugi, Brown dan Fraser, dan
Miller dan Ervin. Menurut kajian awal ini ucapan dua kata kanak-kanak ini
terdiri dari dua jeniskata menurut posisi dan frekuensi munculnya kata-kata itu
di dalam kalimat. Kedua jenis kata ini kemudian dikenal dengan kelas pivot dan
kelas terbuka. Kemudian berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang
disebut teori tata bahasa pivot. Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas
pivot adalah kata-kata fungsi, sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah
kata-kata isi atau kata penuh seperti kata-kata berkategori nomina dan verba.
Menurut Greenfield dan Smith (dalam Chaer, 2009:185)
“Tata bahasa pivot yang muncul sebagai akibat dari discovery prosedure
menyatkan bahwa pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan
kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-kata pivot. Namun, cara ini menurut
psikolinguistik modern sangat tidak memadai.” Selain itu, pakar-pakar seperti
Bloom, Bowerman, dan Brown menyatakan sebagai berikut.
a. Kata-kata
pivot bisa muncul juga sendirian.
b. Kata-kata
pivot dapat juga bergabung dengan kata pivot lain dalam sebuah kalimat.
c. Pada
kalimat-kalimat dua kata yang dibuat kanak-kanak terdapat juga kat-kata dari
kelas lain selain kelas pivot dan kelas terbuka.
d. Tata
bahasa pivot tidak dapat menampung semua makna ucapan-ucapan dua kata.
e. Pembagian
kata-kata pivot dan kelas terbka tidak mencerminkan bahasa-bahasa lainl selain
bahasa Inggris.
Chaer (2009:186) menyatakan “Akhirnya bisa dikatakan
bahwa ucapan dalam kalimat dua kata oleh kanak-kanak telah menunjukkan
penggunaan bahasa yang lebih produktif dibandingkan dengan penggunaan bahasa
pada tahap holofrasis.”
2.
Teori
Hubungan Tata Bahasa Nurani
Tata bahasa generatif transformasi dari Chomsky
sangat terasa pengaruhnya dalam pengkajian perkembangan sintaksis kanak-kanak.
Menurut Chomsky hubungan-hubungan tata bahasa tertentu seperti ‘subject-of, predicate-of, dan direct object-of’ adalah bersifat
universal dan dimiliki oleh semua bahasa yang ada di dunia ini.
Berdasarkan teori Chomsky tersebut, Mc. Neil (dalam
Chaer, 2009: 186) menyatakan “Pengetahuan kank-kanak mengenai hubungan-hubungan
tata bahasa universal ini adalah bersifat ‘nurani’. Oleh karena itu, akan
langsung mempengaruhi pemerolehan sintaksis kanak-kanak sejak tahap awal. Jadi,
pemerolehan sintaksis ditentukan oleh hubungan-hubungan tata bahasa universal
ini.”
Bowerman (dalam Chaer, 2009:188) menyatakan:
Teori
hubungan tata bahasa nurani yang dikemukakan Mc. Neil kurang mendapat dukungan.
Menurut Bowerman kanak-kanak menggunkan rumus-rumus urutan sederhana untuk
kata-kata yang dapat mengisi bermacam-macam fungsi semantik. Usaha kanak-kanak
untuk menggabungkan kata-kata timbul dari penemuannya mengenai cara untuk
menyempaikan hubungan-hubungan semantik bahasa yang sedang diperolehnya. Jadi,
konsep hubungan tata bahasa merupakan perkembangan lanjutan ketika
kanak-kanaknya akhirnya menyadari bahwa kata benda dengan peran-peran semantik
yang berbeda diperlakukan dengan cara yang sama dalam hubungannya dengan
kelas-kelas kata kerja yang berbeda. Namun, yang kurang dalam pandangan
Bpwerman ini adalah mengapa kanak-kanak hanya menggunakan beberapa jenis
gabungan tertentu untuk menyampaikan ubungan-hubungan semantik itu.
3.
Teori
Hubungan Tata Bahasa dan Informasi Situasi
Bloom (dalam Chaer, 2009:188) menyatakan “Hubungan-hubungan
tata bahasa tanpa merujuk pada informasi situasi (konteks) belumlah mencukupi
untuk menganalisis ucapan atau bahasa kanak-kanak. Maka untuk dapt menganalisis
ucapan kanak-kanak itu informasi situasi ini perlu diperhatikan.” Selanjutnya,
dijelaskan juga bahwa suatu gabungan kata telah digunakan oleh kanak-kanak
dalam suatu situasi yang berlainan. Juga dengan hubungan yang berlainandi antara
kata-kata dalam gabungan itu (Bloom dalam Chaer, 2009:188).
Dari beberapa penjelasan tersebut, Chaer (2009:189)
menyimpulkan bahwa pandangan Mc. Neil dan Bloom mengenai perkembangan sintaksis
kanak-kanak ada persamaannya, yang satu dan yang lainnya saling menunjang.
Hanya bedanya kalau Mc. Neil merujuk pada struktur tata bahasa nurani,
sednagkan Bloom merujuk kepada informasi situasi dlam menjelaskan hubungan
kata-kata dalam ucapan kanak-kanak itu. Satu hal yang belum jelas dari teori
Bloom ini adlah dari mana kanak-kanak itu mendapatkan gabungan-gabungan kata
yang bisa digunakan itu dalam situasi-situasi yang berlainan. Bloom dan
Bowerman belum dapat menerangkan dengan jelas maslah ini.
4.
Teori
Kumulatif Kompleks
Teori kumulatif kompleks dikemukakan oleh Brown
berdasarkan data yang dikumpulkannya. Menurut Brown (dalam Chaer, 2009:
189—190):
Urutan
pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak ditentukan oleh kumulatif kompleks
semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang edang diperoleh itu.
Jadi, sama sekali tidak ditentukan oleh frekwensi munculnya morfem atau
kata-kata itu dlam ucapan orang dewasa. Dari tiga orang kanak-kanak (berusia
dua tahun) yang sedang memperoleh bahasa Inggris yang diteliti Brown, ternyata
morfem yang pertama dikuasai adalah bentuk progressive-ing
dari kata kerja, padahal bentuk ini tidak sering muncul dalam ucapan-ucapan
orang dewasa.
Simanjuntak (dalam Chaer, 2009: 190) menjelaskan
bahwa setelah progressive-ing baru
muncul kata depan in, kemudian on, dan diikuti oleh bentuk jamak ‘s. Sedangkan artikel the dan a yang lebih sering muncul dalam ucapan-ucapan orangdewasa baru
muncul pada tahap ke-8. Urutan perkembangan sintaksis yang dilaporkan oleh
Brown hampir sama dengan urutan perkembangan hubungan-hubungan semantik
sintaksis yang dilaporkan oleh sejumlah pakar lain.
5.
Teori
Pendekatan Semantik
Teori pendekatan semantik ini menurut Greenfield dan
Smith (dalam Chaer, 2009:190) pertama kali diperkenalkan oleh Bloom. Dalam hal
ini Bloom mengintegrasikan pengetahuan semantik dalam pengjkajian perkembangan
sintaksis ini berdasarkan terori generatif transformasinya.
Menurut Chaer (2009: 191) “Teori pendekatan semantik
menemukan struktur ucapan itu berdasarkan hubungan-hubungan semantik.” Jadi,
teori hubungan tata bahasa nurani menerapkan struktur sintaksis orang dewasa,
yaitu:
K à FN + FV
Pada ucapan-ucapan kanak-kanak,
sedangkan teori pendekatan semantik menemukan struktur:
Agen + Kerja + Objek, atau
Agen + Keja, atau
Objek + Kerja
Pada ucapan kanak-kanak, yaitu struktur yang
menggambarkan hubungan-hubungan semantik. Namun, menurut Bowerman dan Brown
(dalam Chaer, 2009:191) hubungan-hubungan semantik ini tidak selalu sejalan
atau sesuai dengan hubungan-hubungan sintaksis yang diterapkan.
C.
Pemerolehan
Leksikon
Tangis dan gestur adalah alat yang diigunakan anak
untuk menyampaikan sesuatu sebelum dia mampu mengucapkan kata. Menurut
Dardjowidjojo (2010:258), saat anak senyum dan menjulurkan tangannya untuk
meminta sesuatu sebenarnya anak tersebut telah memakai “kalimat” yang protedeklaratif dan protoimperatif.
Seperti halnya pemerolehan fonologi, Darjowidjojo
meneliti cucunnya bernama Echa untuk meneliti pemerolehan leksikon. Echa baru
mampu mengeluarkan bunyi yang dapat dikenal sebagai kata sekitar umur 1;5. Agar
lebih jelas mengenai pemerolehan leksikon ini, Dardjowidjojo menjelaskan tiga
hal dalam bukunya yaitu: macam kata yang dikuasai, cara anak menentukan makna,
dan cara anak menguasai makna kata. Ketiga hal tersebut akan dijelaskan satu per
satu sebagai berikut.
1.
Macam Kata yang Dikuasai
Macam kata yang dikuasai anak dipengaruhi lingkungan
sekitarnya. Dardjowidjojo menyebutnya prinsip sini dan kini. Apabila
seorang anak tinggal di perkotaan dan dirawat oleh orangtua yang berkecukupan.
Si anak akan memperoleh kata-kata nomina yang berada dekat dengannya seperti bola, kucing, anjing, sepatu, kelinci, dan
sebagainya. Sebaliknya, apabila seorang anak dibesarkan di lingkungan pedesaan,
anak tersebut akan memperoleh kata padi,
bebek, sawah, cangkul, sapi,dan sebagainya.
Anak-anak lebih dulu menguasai kata utama (nomina,
verba, dan adjektiva). Dari hasil peneliatian Dardjowidjojo terhadap cucunya,
Echa lebih banyak menguasai nomina daripada verba. Selama lima tahun Echa
memiliki kemampuan menguasai nomina rata-rata 49%, verba menduduki posisi kedua
dengan rata-rata 29%, adjektiva menduduki posisi ketiga dengan rata-rata 13%,
dan kata fungsi paa urutan terakhir dengan rata-rata 10%.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak memperoleh
hirarki kata kategori dasar, yakni tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu
rendah. Contoh untuk menyebutkan perkutut Bangkok, anak tidak akan menyebutnya
binatang atau makhluk, perkutut Bangkok, atau perkutut sekalipun. Anak lebih
memilih menyebut perkutut Bangkok dengan burung.
Input penyebutan tersebut berasal dari bahasa ibu si anak.
2.
Cara Anak Menentukan Makna
Menurut Dardjowidjojo, dalam hal penentuan makna suatu
kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal yang di antaranya overextension (penggelembungan makna).
Anak-anak cenderung mengambil salah satu fitur makna ketika diperkenalkan
dengan konsep baru. Contohnya Echa yang diperkenalkan dengan semut, dia
mengambil fitur ukuran untuk mengenali semut tersebut yaitu berukuran kecil.
Hal itu menyebabkan, pada saat Echa melihat nyamuk, dia juga menyebut nyamuk
tersebut dengan semut karena sama-sama berukuran kecil.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa penggelembungan dapat
berdasarkan bentuk, ukuran, gerakan, bunyi, dan tekstur. Di samping
penggelembungan, anak juga memakai underextension
(penciutan makna). Anak akan mebatasi makna hanya pada referen yang dirujuk
sebelumnya. Contohnya Echa yang melihat boneka beruang di rumahnya dinamai
dengan Tedy Bear, tetapi beruang yang dia lihat di buku atau televisi dinamai
beruang.
3.
Cara Anak Menguasai Makna Kata
Dardjowidjojo menemukakan bahwa anak tidak menguasai
makna kata secara sembarangan melainkan menggunakan strategi. Misalnya ketika
anak menggunakan strategi pertama yaitu strategi referensi dengan menganggap
bahwa kata pastilah akan merujuk pada benda, perbuatan, proses, atau atribut.
Contoh bila kata cabai, anak akan
melekatkan kata cabai dengan benda
berwarna merah.
Strategi kedua adalah strategi cakupan objek. Pada
strategi ini, kata yang merujuk pada suatu objek akan merujuk pada keseluruhan
objek itu. Contoh sepeda akan merujuk
pada benda yang yang memiliki roda, rantai, ban, tempat duduk, dan sebagainya.
Strategi ketiga adalah strategi peluasan. Strategi ini
mengasumsikan bahwa kata tidak hanya merujuk pada pada objk aslinya tetapi juga
pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama. Contoh anak yang diperkenalkan
dengan kucing yang berbulu hitam akan menyebut kucing yang berbulu putih
sebagai kucing.
Strategi keempat adalah cakupan ketegorial. Strategi
ini menyatakan bahwa kata dapat diperluas pemakaiannya untuk objek-objek yang
termasuk dalam kategori dasar yang sama. Contoh burung perkutut sebagai burung
yang memiliki sayap, maka ketika melihat beo, merpati, dan jenis burung lainnya
akan tetap disebut si anak sebagai burung.
Strategi kelima adalah nama baru-kategori tak bernama.
Strategi ini adalah strategi yang digunakan si anak ketika ia mendengar kata
baru tetapi belum menemukan rujukannya, maka si anak akan menganggap kata
tersebut sebagai kata baru dan menempelkan maknanya kepada objek, perbuatan,
atau proses yang dirujuk kata itu.
Strategi keenam adalah konvensionalitas. Strategi ini
digunakan untuk mengenalkan hal-hal di sekitarnya dengan bahasa yang kira-kira
mudah dipahami anak. Contoh ketika mengenalakan burung perkutut Bangkok, anak
akan dikenalkan dengan sebutan burung yang
nerujuk pada perkutut Bangkok tersebut.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak-anak lebih mudah
menguasai kata-kata yang bermakna konkret daripada bermakna abstrak. Anak akan
lebih mudah mengenali kata kursi daripada
agama. Selain itu, anak juga akan
sulit memahami kata-kata yang memiliki pengertian relatif seperti besar, kecil, keras, pelan, luas, sempit, dan
sebagainya.
D.
Pemerolehan
Morfologi
Santoso dalam Putri (2014:6) menyatakan morfem
berdasarkan bentuknya ada dua macam yaitu morfem bebas dan terikat. Morfem
bebas adalah morfem yang mempunyai potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata
dan dapat langsung membentuk kalimat sedangkan morfem terikat merupakan morfem
yang belum memiliki arti, maka morfem ini belum mempunyai potensi sebagai kata.
Untuk membentuk kata, morfem harus digabung dengan morfem bebas. Morfem terikat
ada dua macam morfem terikat morfologis dan morfem terikat sintaksis. Morfem
terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar yaitu
prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran) dan konfiks (imbuhan
gabungan). Pada anak-anak usia dini sudah dapat membentuk beberapa morfem yang
menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika
sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang
ingin dia sampaikan.
Dari transkip data 1 sampai 8 diperoleh data yaitu
ujaran pada anak-anak yang berumur 2-3 tahun pada data 1 dan data 4 belum
muncul morfem yang memeroleh afiksasi, bahkan banyak morfem yang sebagian
seperti /dah/ /yum/ /ma/ /nali/ yang seharusnya /sudah/, /belum/, /bersama/,
/menali/. Namun pada anak yang berumur 4-5 tahun pada data 5– 8 sudah muncul
morfem yang mendapatkan proses afiksasi mendapat prefiks maupun sufiks, namun
infiks maupun konfiks belum muncul. pada anak yang berumur 4-5 tahun terdapat morfem
yang mengalami reduplikasi. Pada anak yang berusia dua tahun belum menunjukkan
pemerolehan afiksasi. Pada usia tiga tahun, pemerolehan morfologi kebanyakan
kata-kata yang monomorfemik. Bentuk pasif di- juga mulai muncul pada umur tiga
tahun. pada usia empat tahun prefiks formal {ber-} dan {meN-} sudah mulai
muncul walaupun masih jarang muncul. Pada usia lima tahun anak sudah mencapai
perkembangan verba, netralisasi sufiks {-kan} dan {-i} yang menjadi {-in} pada
/dibeliin/ yang seharusnya /dibelikan/ (Putri, 2014:7).
Referensi:
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Putri, Ary Kunti, dkk. 2014. “Pemerolehan Bahasa Indonesia pada Anak Usia
Dini di Desa Beraban, Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.” (Digilib.undiksha.ac.id.
Diunduh 22 Maret 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar