Selasa, 10 Januari 2017

Kronologis Pemerolehan Bahasa



KRONOLOGIS PEMEROLEHAN BAHASA

TUGAS
diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan
Pengantar Psikolinguistik
yang dibina oleh Dra. Elya Ratna, M.Pd.



Description: Description: Description: logo.jpg



Deta Fitrianita/ 1300820
Nomor Urut: 14









PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
KRONOLOGIS PEMEROLEHAN BAHASA

A.    Pemerolehan Fonologi
1.      Teori Struktural Universal
Teori struktural universal dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (1968). Oleh karena ini sering juga disebut dengan teori Jakobson. Chaer (2009:202) menjelaskan  “Pada intinya teori struktural universal mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi.”
Jakobson (dalam Chaer, 2009:202) melalui penelitiannya ia mengamati bahwa:
Pengeluaran bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel dan menemukan bahwa bayi yang normal mengeluarkan berbagai ragam bunyi dalam vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Namun ketika bayi mulai memperoleh ‘kata’ pertamanya maka kebanyakan bunyi-bunyi ini menghilang. Sebagian dari bunyi-bunyi itu baru muncul kembali beberapa tahun kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menimpulkan adanya dua tahap dalam pemerolehan fonologi, yaitu tahap membabel prabahasa dan tahap pemerolehan bahasa murni.

Jakomson memprediksi bahwa bayi-bayi akan memperoleh kontras atau oposisi antara hambat bilabbial dengan hambat dental atau hambat alveolar lebih dahulu dari[ada kontras-kontras di antaara bilabial dan velar atau di antara dental dengan velar. Lebih jauh, Jakobson juga meramalkan bahwa konsonan hambat akan dahulu diperoleh daripada frikatif dan afrikat dan yang terakhir diperoleh adalah bunyi-bunyi likuida seperti [l] dan [r] dan bunyi luncuran (glide) [y] dan [w] (Chaer, 2009:204).
Di dalam bukunya yang lain, Jakobson (dalam Chaer, 2009:204) mengemukakan bahwa:
Pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial), sedangkan pemerolehan bunyi vokal dimulai dari satu vokal lebar, biasanya bunyi [a]. Jadi, pada waktu yang sama konsonan bilabial, biasanya [p], dan vokal lebar, biasanya [a] membentuk satu model silabel yang universal yaitu KV (konsonan+vokal) yang mencerminkan apa yang disebut “konsonan optimal+vokal optimal”. Berdasarkan pola inilah nanti akan muncul satuan-satuan bermakna dalam ucapan kanak-kanak yang biasanya terjadi dalam bentuk reduplikasi, misalnya [pa + pa].

Jakobson (dalam Chaer, 2009:204—205) menjelaskan bahwa urutan pemerolehan kontras fonemik bersifat universal. Artinya, bisa terjad dalam bahasa apa pun dan oleh kanak-kanak mana pun. Maka setelah konsonan bilabial dan vokal lebar, akan muncul oposisi bunyi oral dan bunyi nasal kemiduan diikuti oleh oposisi labial dan dental/alveolar. Jadi, menurut Jakobson urutan pemerolehan konsonan adalah bilabial-dental (alveolar) – palatal – velar. Ini berarti apabila seorang anak telah dapat membunyikan konsonan frikatif, berarti dia juga telah mampu membunyikan bunyi-bunyi hambat. Munculkan konsonan belakang oleh kanak-kanak menandakan bahwa ia juga telah menguasai konsonan depan. Inilah yang oleh Jakobson disebut hukum-hukum implikasi. Namun, perlu diingat bahwa yang diperoleh anak-anak bukanlah bunyi-bunyi secara satu per satu, melainkan dalam oposisinya (kontrasnya) dengan bunyi-bunyi lain dalam sistem hukum-hukum di atas.
Seringnya sesuatu bunyi diucapkan seorang dewasa terhadap kanak-kana tidak menentukan munculnya bunyi tersebut dalam ucapan kanak-kanak. Yang menentukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam bahasa-bahasa dunia. Jika suatu bunyi sering muncul dalam bahasa-bahasa dunia, maka bunyi-bunyi itu akan lebuh dulu muncul dalam ucapan kanak-kanak, meskipun bunyi itu  jarang muncul dalam data masukan yang didenganr oeh kanak-kanak (Jakobson dalam Chaer, 2009:205).

2.      Teori Generatif Struktural Universal
Teori struktural iniversal yang diperkenalkan oleh Jakobson telah diperluas oleh Moskowitz dengan cara menerapkan unsur-unsur fonologi generatif yang diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle. Yang paling menonjol dari teori Moskowitz ini adalah ‘penemuan konsep’ dan ‘pembentukan hipotesis’ berupa rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data linguistik utama (DLU), yaitu kata-kata dan kalimat-kalimat yang didengarnya sehari-hari.
Moskowitz (dalam Chaer, 2009:206) berpendapat bahwa sejak awal proses pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia. Hal ini termasuk ‘kemampuan nurani’ yang dimiliki bayi sejak dilahirkan. Kemudian pada masa membabel bayi mengembangkan kemampuan inguistiknya dengan cara menyesuaikan ucapan-ucapannya dengan persepsi bunyi yang didengarnya. Hal ini membuat si bayi semakin mampu mengenal dirinya sebagai anggota masyarakat manusia di sekitarnya. Selanjutnya Moskowitz juga mengatakan sejak awal proses pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia.
Sesudah kanak-kanak menemukan unit kalimat ditandai oleh kontur intonasi, maka kanak-kanak akan menemukan unit utama kedua yaitu unit suku kata, yakni bagian dari kata yang merupakan satu satuan bunyi di bawah kata ini. Unit suku kata ini dipahami kanak-kanak sebagai satu fitur suku kata, bukan sebagai fitur-fitur fonem atau fon. Setelah menguasai unit suku kata barulah kanak-kanak menguasai unit segmen, yakni konsonan atau vokal. Urutan pemerolehan segmen ini tidak sama antara seorang kanak-kanak dengan kanak-kanak lain. pemerolehan unit segmen segera diikuti oleh pemerolehan unit yang lebih kecil yaitu unit fitur distingtif berupa oposisi atau kontras-kontras yang bisa membedakan makna. Urutan pemerolehannya teratur dan sesuai dengan urutan menurut teori Roman Jakobson. Moskowitz juga memperkenalkan apa yang disebut idiom-idiom fonologi. Menurut perkembangannya idiom-idiom fonologi ini terdiri dari idiom progresif dan idiom regresif. Yang dimaksud dengan idiom progresif adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada tahap awal telah menyamai bentuk yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, bentuk semakin dekat, dan seterusnya menjadi tepat. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom regresif adalah apabila bentuk yang telah menyamai bentuk orang dewasa itu berubah kebentuk yang lebih primitif (Moskowitz dalam Chaer, 2009:208).

3.      Teori Proses Fonologi Alamiah
Teori proses fonologi alamiah diperkenalkan oleh David Stampe, yakni suatu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang juga telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut Stampe proses fonologi kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi), pembatasan dan pengaturan sesuai dengan penuranian representasi fonemik orang dewasa (Chaer, 2009:208—209).
Menurut Chaer (2009:209) suatu proses fonologi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang saling bertentangan. Umpamanya, terdapat suatu proses yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak bersuara dalam semua konteks, karena halangan oralnya menghalangi arus udara yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi-bunyi ini. Namun, bagaimanapun bunyi-bunyi ini akan menjadi bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini terjadi bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dna saling bertentangan. Sebuah bunyi hambat tidak akan mungkin secara serentak bersuara dan tidak bersuara pada lingkungan yang sama. Masalahnya yang bertentangan ini dapat dipecahkan dengan iga cara berikut.
a.       Menindas, salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu. Umpamanya bila kanak-kanak telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka beraarti dia telah berhasial menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh halangan oral bunyi itu.
b.      Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya, proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat tegang saja, sedangkan bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
c.       Mengatur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi suara, lalu diikuti dengan proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini tidak mungkin terjadi secara bersamaan.

4.      Teori Prosodi-Akustik
Teori parodi-akustik diperkenalkan oleh Waterson setelah dia merasa tidak puas dengan pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi. Pendekatan fonemik segmental menganggap bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan fonetik yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut maka Weterson menggunakan pendekatan nonsegmental, yaitu pendekatan persodi yang dianggapnya lebih berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis persodi hanya melihat dari analisis artikulasi saja.
Menurut Waterson (dalam Chaer, 2009:211) “Pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantik dan fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.” Selanjutnya, Waterson (dalam Chaer, 2009:212) mengatakan bahwa:
Ia menemukan adanya hubungan akustik antara bentuk-bentuk ucapak kanak-kanak dengan fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa. Kanak-kanak anya mengucapkan kembali bagian ucapan yang makan waktu kurang 0,2 detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah elemen vokal dan konsonan yang mencapai artikulasi kuat.

Satu hal lagi dari pemerolehan fonologi adalah masalah sejauh mana kanak-kanak dihambat oleh pembatasan-pembatasan dalam persepsi dan pengeluaran bunyi. Karena masalah ini menyangkut pengeluaran dan persepsi, maka pengkajian pemerolehan fonologi haruslah pula dari sudut artkulasi dan akustik. Namun, dari sudut akustik sangat sukar karena kita tidak tahu apa sebenarnya yang diamati kanak-kanak sedangkan kita tidak bisa bertanya kepadanya. Umpamanya seorang anak-anak mengucapkan <plate> yang berbunyi [pleit] menjadi berbunyi [beip], apakah dia bisa membedakan tempat artikulasi [p] dan [b], kita tidak tahu. Apakah dia mengucapkan [pleit] menjadi [beip]. Karena lebih mudah mengucapkannya atau karena dia tidak tahu perbedaannya. Untuk memecahkan masalah ini, Waterson merujuk pada pengucapan orang dewasa: orang dewasa lebih banyak ‘membuat kesalahan’ dalam tempat artikulasi daripada cara artikulasi. Kanak-kanak tidak menaruh perhatian pada tempat artkulasi untuk setiap pengucapan karena mereka tidak mampu menghadapi segala-galanya pada waktu yang sama pada setiap peringkat (Chaer, 2009:212).

5.      Teori Kontras dan proses
Teori kontras dan proses diperkenalkan oleh Ingram, yakni suatu teori yang menggabungkan bagian-bagian penting dari teori Jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori Stampe, kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan dari Piaget. Menurut Ingram (dalam Chaer, 2009:212) “Kanak-kanak memperoleh sistem fonologi orang dewasa dengancara menciptakan strukturnya sendiri dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah struktur untuk menyelaraskannya dengan kenyataan.”
Ingram (dalam Chaer, 2009:213) menegaskan kita harus mengakui adanya ketiga peringkat perkembangan fonologi kanak-kanak. Perkembangan fonologi kanak-kanak harus dapat menerangkan tiga peringkat yaitu, persepsi, organisasi, dan pengeluaran. Karena fonologi membicarakan kontras-kontras dan berusaha memberikan satu pengucapan pada tiap morfem, maka kanak-kanak haruslah berusaha memperoleh kontras-kontras dalam pengucapan-pengucapan itu.
Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram sejalan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif dari Piaget. Pada tahap persepsi yang belum prosuktif itu terdapat dua subtahap yaitu tahap vokalisasi praucapan dan tahap fonologi primitif (Chaer, 2009:213).
Menurut Chaer (2009:214) tahap vokalisasi praacuan adalah tahap sebelum kata-kata pertama muncul yang dimulai dengan mendekut ketika berumur empat bulan. Kemudian diikuti dengan membabel. Menurut Ingram membabel ini bukanlah kegiatan semaunya, melainkan merupakan suatu kegiatan yang agak teratur dan maju berkelanjutan. Membabel ini bukan merupakan satu latihan, melainkan ada hubungannya dengan seluruh [roses pemerolehan fonologi.
Chaer (2009:214) menjelaskan tahap fonologi primitif muncul pada tahap satu kata (holofrasis) dlam pemerolehan sintaksis. Tahap ini pun belum produktif karena kanak-kanak belum memperoleh rumus-rumus fonologi yang sebenarnya. Sesudah menganalisis data ucapan dari sejumlah kanak-kanak, Ingram menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak seluruhnya benar. Umpamanya, menurut teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang muncul adalah KV atau reduplikasinya KVKV; tetapi menurut data bentuk VK juga banyak muncul. Begitupun bentuk pengulangan yang ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak yang satu dengan kanak-kanak yang lain.
Pada tahap pengeluaran yakni tahpa pengeluaran yang aktif, yang dimulai ketika berusia satu tahun setengah terdapat dua peristiwa penting yaitu terjadinya pertumbuhan kosakata dengan cepat dan munculnya ucapan-ucapan dua kata. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengembangkan kemampuannya untuk menentukan bunyi-bunyi ucapan yang dapat dipakai untuk menyatakan perbedaan makna. Tahap ini berlangsung sampai kanak-kanak berumur tiga tahun enam bulan (Chaer, 2009:214).
Menurut Chaer (2009: 214—215) pemerolehan setiap bunyi tidak terjadi secara tiba-tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara perlahan-lahan dan berangsur-angsur. Ucapan kanak-kanak selalu berubah antara ucapan yang benar dan tidak benar secara progresif sampai ucapan seperti orang dewasa tercapai. Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi melalui bebrapa proses penyederhanaan umum yang melibatkan semua kelas bunyi.

B.     Pemerolehan Sintaksis
1.      Teori Tata Bahasa Pivot
Chaer (2009:183—184) kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak dimulai oleh Braene, Bellugi, Brown dan Fraser, dan Miller dan Ervin. Menurut kajian awal ini ucapan dua kata kanak-kanak ini terdiri dari dua jeniskata menurut posisi dan frekuensi munculnya kata-kata itu di dalam kalimat. Kedua jenis kata ini kemudian dikenal dengan kelas pivot dan kelas terbuka. Kemudian berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang disebut teori tata bahasa pivot. Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah kata-kata fungsi, sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi atau kata penuh seperti kata-kata berkategori nomina dan verba.
Menurut Greenfield dan Smith (dalam Chaer, 2009:185) “Tata bahasa pivot yang muncul sebagai akibat dari discovery prosedure menyatkan bahwa pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-kata pivot. Namun, cara ini menurut psikolinguistik modern sangat tidak memadai.” Selain itu, pakar-pakar seperti Bloom, Bowerman, dan Brown menyatakan sebagai berikut.
a.       Kata-kata pivot bisa muncul juga sendirian.
b.      Kata-kata pivot dapat juga bergabung dengan kata pivot lain dalam sebuah kalimat.
c.       Pada kalimat-kalimat dua kata yang dibuat kanak-kanak terdapat juga kat-kata dari kelas lain selain kelas pivot dan kelas terbuka.
d.      Tata bahasa pivot tidak dapat menampung semua makna ucapan-ucapan dua kata.
e.       Pembagian kata-kata pivot dan kelas terbka tidak mencerminkan bahasa-bahasa lainl selain bahasa Inggris.
Chaer (2009:186) menyatakan “Akhirnya bisa dikatakan bahwa ucapan dalam kalimat dua kata oleh kanak-kanak telah menunjukkan penggunaan bahasa yang lebih produktif dibandingkan dengan penggunaan bahasa pada tahap holofrasis.”

2.      Teori Hubungan Tata Bahasa Nurani
Tata bahasa generatif transformasi dari Chomsky sangat terasa pengaruhnya dalam pengkajian perkembangan sintaksis kanak-kanak. Menurut Chomsky hubungan-hubungan tata bahasa tertentu seperti ‘subject-of, predicate-of, dan direct object-of’ adalah bersifat universal dan dimiliki oleh semua bahasa yang ada di dunia ini.
Berdasarkan teori Chomsky tersebut, Mc. Neil (dalam Chaer, 2009: 186) menyatakan “Pengetahuan kank-kanak mengenai hubungan-hubungan tata bahasa universal ini adalah bersifat ‘nurani’. Oleh karena itu, akan langsung mempengaruhi pemerolehan sintaksis kanak-kanak sejak tahap awal. Jadi, pemerolehan sintaksis ditentukan oleh hubungan-hubungan tata bahasa universal ini.”
Bowerman (dalam Chaer, 2009:188) menyatakan:
Teori hubungan tata bahasa nurani yang dikemukakan Mc. Neil kurang mendapat dukungan. Menurut Bowerman kanak-kanak menggunkan rumus-rumus urutan sederhana untuk kata-kata yang dapat mengisi bermacam-macam fungsi semantik. Usaha kanak-kanak untuk menggabungkan kata-kata timbul dari penemuannya mengenai cara untuk menyempaikan hubungan-hubungan semantik bahasa yang sedang diperolehnya. Jadi, konsep hubungan tata bahasa merupakan perkembangan lanjutan ketika kanak-kanaknya akhirnya menyadari bahwa kata benda dengan peran-peran semantik yang berbeda diperlakukan dengan cara yang sama dalam hubungannya dengan kelas-kelas kata kerja yang berbeda. Namun, yang kurang dalam pandangan Bpwerman ini adalah mengapa kanak-kanak hanya menggunakan beberapa jenis gabungan tertentu untuk menyampaikan ubungan-hubungan semantik itu.

3.      Teori Hubungan Tata Bahasa dan Informasi Situasi
Bloom (dalam Chaer, 2009:188) menyatakan “Hubungan-hubungan tata bahasa tanpa merujuk pada informasi situasi (konteks) belumlah mencukupi untuk menganalisis ucapan atau bahasa kanak-kanak. Maka untuk dapt menganalisis ucapan kanak-kanak itu informasi situasi ini perlu diperhatikan.” Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa suatu gabungan kata telah digunakan oleh kanak-kanak dalam suatu situasi yang berlainan. Juga dengan hubungan yang berlainandi antara kata-kata dalam gabungan itu (Bloom dalam Chaer, 2009:188).
Dari beberapa penjelasan tersebut, Chaer (2009:189) menyimpulkan bahwa pandangan Mc. Neil dan Bloom mengenai perkembangan sintaksis kanak-kanak ada persamaannya, yang satu dan yang lainnya saling menunjang. Hanya bedanya kalau Mc. Neil merujuk pada struktur tata bahasa nurani, sednagkan Bloom merujuk kepada informasi situasi dlam menjelaskan hubungan kata-kata dalam ucapan kanak-kanak itu. Satu hal yang belum jelas dari teori Bloom ini adlah dari mana kanak-kanak itu mendapatkan gabungan-gabungan kata yang bisa digunakan itu dalam situasi-situasi yang berlainan. Bloom dan Bowerman belum dapat menerangkan dengan jelas maslah ini.

4.      Teori Kumulatif Kompleks
Teori kumulatif kompleks dikemukakan oleh Brown berdasarkan data yang dikumpulkannya. Menurut Brown (dalam Chaer, 2009: 189—190):
Urutan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak ditentukan oleh kumulatif kompleks semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang edang diperoleh itu. Jadi, sama sekali tidak ditentukan oleh frekwensi munculnya morfem atau kata-kata itu dlam ucapan orang dewasa. Dari tiga orang kanak-kanak (berusia dua tahun) yang sedang memperoleh bahasa Inggris yang diteliti Brown, ternyata morfem yang pertama dikuasai adalah bentuk progressive-ing dari kata kerja, padahal bentuk ini tidak sering muncul dalam ucapan-ucapan orang dewasa.

Simanjuntak (dalam Chaer, 2009: 190) menjelaskan bahwa setelah progressive-ing baru muncul kata depan in, kemudian on, dan diikuti oleh bentuk jamak ‘s. Sedangkan artikel the dan a yang lebih sering muncul dalam ucapan-ucapan orangdewasa baru muncul pada tahap ke-8. Urutan perkembangan sintaksis yang dilaporkan oleh Brown hampir sama dengan urutan perkembangan hubungan-hubungan semantik sintaksis yang dilaporkan oleh sejumlah pakar lain.

5.      Teori Pendekatan Semantik
Teori pendekatan semantik ini menurut Greenfield dan Smith (dalam Chaer, 2009:190) pertama kali diperkenalkan oleh Bloom. Dalam hal ini Bloom mengintegrasikan pengetahuan semantik dalam pengjkajian perkembangan sintaksis ini berdasarkan terori generatif transformasinya.
Menurut Chaer (2009: 191) “Teori pendekatan semantik menemukan struktur ucapan itu berdasarkan hubungan-hubungan semantik.” Jadi, teori hubungan tata bahasa nurani menerapkan struktur sintaksis orang dewasa, yaitu:
K à FN + FV
Pada ucapan-ucapan kanak-kanak, sedangkan teori pendekatan semantik menemukan struktur:
Agen + Kerja + Objek, atau
Agen + Keja, atau
Objek + Kerja
Pada ucapan kanak-kanak, yaitu struktur yang menggambarkan hubungan-hubungan semantik. Namun, menurut Bowerman dan Brown (dalam Chaer, 2009:191) hubungan-hubungan semantik ini tidak selalu sejalan atau sesuai dengan hubungan-hubungan sintaksis yang diterapkan.

C.    Pemerolehan Leksikon
Tangis dan gestur adalah alat yang diigunakan anak untuk menyampaikan sesuatu sebelum dia mampu mengucapkan kata. Menurut Dardjowidjojo (2010:258), saat anak senyum dan menjulurkan tangannya untuk meminta sesuatu sebenarnya anak tersebut telah memakai “kalimat” yang protedeklaratif dan protoimperatif.
Seperti halnya pemerolehan fonologi, Darjowidjojo meneliti cucunnya bernama Echa untuk meneliti pemerolehan leksikon. Echa baru mampu mengeluarkan bunyi yang dapat dikenal sebagai kata sekitar umur 1;5. Agar lebih jelas mengenai pemerolehan leksikon ini, Dardjowidjojo menjelaskan tiga hal dalam bukunya yaitu: macam kata yang dikuasai, cara anak menentukan makna, dan cara anak menguasai makna kata. Ketiga hal tersebut akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut.

  1.       Macam Kata yang Dikuasai
Macam kata yang dikuasai anak dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Dardjowidjojo menyebutnya prinsip sini dan kini. Apabila seorang anak tinggal di perkotaan dan dirawat oleh orangtua yang berkecukupan. Si anak akan memperoleh kata-kata nomina yang berada dekat dengannya seperti bola, kucing, anjing, sepatu, kelinci, dan sebagainya. Sebaliknya, apabila seorang anak dibesarkan di lingkungan pedesaan, anak tersebut akan memperoleh kata padi, bebek, sawah, cangkul, sapi,dan sebagainya.
Anak-anak lebih dulu menguasai kata utama (nomina, verba, dan adjektiva). Dari hasil peneliatian Dardjowidjojo terhadap cucunya, Echa lebih banyak menguasai nomina daripada verba. Selama lima tahun Echa memiliki kemampuan menguasai nomina rata-rata 49%, verba menduduki posisi kedua dengan rata-rata 29%, adjektiva menduduki posisi ketiga dengan rata-rata 13%, dan kata fungsi paa urutan terakhir dengan rata-rata 10%.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak memperoleh hirarki kata kategori dasar, yakni tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Contoh untuk menyebutkan perkutut Bangkok, anak tidak akan menyebutnya binatang atau makhluk, perkutut Bangkok, atau perkutut sekalipun. Anak lebih memilih menyebut perkutut Bangkok dengan burung. Input penyebutan tersebut berasal dari bahasa ibu si anak.

  2.       Cara Anak Menentukan Makna
Menurut Dardjowidjojo, dalam hal penentuan makna suatu kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal yang di antaranya overextension (penggelembungan makna). Anak-anak cenderung mengambil salah satu fitur makna ketika diperkenalkan dengan konsep baru. Contohnya Echa yang diperkenalkan dengan semut, dia mengambil fitur ukuran untuk mengenali semut tersebut yaitu berukuran kecil. Hal itu menyebabkan, pada saat Echa melihat nyamuk, dia juga menyebut nyamuk tersebut dengan semut karena sama-sama berukuran kecil.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa penggelembungan dapat berdasarkan bentuk, ukuran, gerakan, bunyi, dan tekstur. Di samping penggelembungan, anak juga memakai underextension (penciutan makna). Anak akan mebatasi makna hanya pada referen yang dirujuk sebelumnya. Contohnya Echa yang melihat boneka beruang di rumahnya dinamai dengan Tedy Bear, tetapi beruang yang dia lihat di buku atau televisi dinamai beruang.

  3.       Cara Anak Menguasai Makna Kata
Dardjowidjojo menemukakan bahwa anak tidak menguasai makna kata secara sembarangan melainkan menggunakan strategi. Misalnya ketika anak menggunakan strategi pertama yaitu strategi referensi dengan menganggap bahwa kata pastilah akan merujuk pada benda, perbuatan, proses, atau atribut. Contoh bila kata cabai, anak akan melekatkan kata cabai dengan benda berwarna merah.
Strategi kedua adalah strategi cakupan objek. Pada strategi ini, kata yang merujuk pada suatu objek akan merujuk pada keseluruhan objek itu. Contoh sepeda akan merujuk pada benda yang yang memiliki roda, rantai, ban, tempat duduk, dan sebagainya.
Strategi ketiga adalah strategi peluasan. Strategi ini mengasumsikan bahwa kata tidak hanya merujuk pada pada objk aslinya tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama. Contoh anak yang diperkenalkan dengan kucing yang berbulu hitam akan menyebut kucing yang berbulu putih sebagai kucing.
Strategi keempat adalah cakupan ketegorial. Strategi ini menyatakan bahwa kata dapat diperluas pemakaiannya untuk objek-objek yang termasuk dalam kategori dasar yang sama. Contoh burung perkutut sebagai burung yang memiliki sayap, maka ketika melihat beo, merpati, dan jenis burung lainnya akan tetap disebut si anak sebagai burung.
Strategi kelima adalah nama baru-kategori tak bernama. Strategi ini adalah strategi yang digunakan si anak ketika ia mendengar kata baru tetapi belum menemukan rujukannya, maka si anak akan menganggap kata tersebut sebagai kata baru dan menempelkan maknanya kepada objek, perbuatan, atau proses yang dirujuk kata itu.
Strategi keenam adalah konvensionalitas. Strategi ini digunakan untuk mengenalkan hal-hal di sekitarnya dengan bahasa yang kira-kira mudah dipahami anak. Contoh ketika mengenalakan burung perkutut Bangkok, anak akan dikenalkan dengan sebutan burung yang nerujuk pada perkutut Bangkok tersebut.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak-anak lebih mudah menguasai kata-kata yang bermakna konkret daripada bermakna abstrak. Anak akan lebih mudah mengenali kata kursi daripada agama. Selain itu, anak juga akan sulit memahami kata-kata yang memiliki pengertian relatif seperti besar, kecil, keras, pelan, luas, sempit, dan sebagainya.

D.    Pemerolehan Morfologi
Santoso dalam Putri (2014:6) menyatakan morfem berdasarkan bentuknya ada dua macam yaitu morfem bebas dan terikat. Morfem bebas adalah morfem yang mempunyai potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk kalimat sedangkan morfem terikat merupakan morfem yang belum memiliki arti, maka morfem ini belum mempunyai potensi sebagai kata. Untuk membentuk kata, morfem harus digabung dengan morfem bebas. Morfem terikat ada dua macam morfem terikat morfologis dan morfem terikat sintaksis. Morfem terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar yaitu prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran) dan konfiks (imbuhan gabungan). Pada anak-anak usia dini sudah dapat membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan.
Dari transkip data 1 sampai 8 diperoleh data yaitu ujaran pada anak-anak yang berumur 2-3 tahun pada data 1 dan data 4 belum muncul morfem yang memeroleh afiksasi, bahkan banyak morfem yang sebagian seperti /dah/ /yum/ /ma/ /nali/ yang seharusnya /sudah/, /belum/, /bersama/, /menali/. Namun pada anak yang berumur 4-5 tahun pada data 5– 8 sudah muncul morfem yang mendapatkan proses afiksasi mendapat prefiks maupun sufiks, namun infiks maupun konfiks belum muncul. pada anak yang berumur 4-5 tahun terdapat morfem yang mengalami reduplikasi. Pada anak yang berusia dua tahun belum menunjukkan pemerolehan afiksasi. Pada usia tiga tahun, pemerolehan morfologi kebanyakan kata-kata yang monomorfemik. Bentuk pasif di- juga mulai muncul pada umur tiga tahun. pada usia empat tahun prefiks formal {ber-} dan {meN-} sudah mulai muncul walaupun masih jarang muncul. Pada usia lima tahun anak sudah mencapai perkembangan verba, netralisasi sufiks {-kan} dan {-i} yang menjadi {-in} pada /dibeliin/ yang seharusnya /dibelikan/ (Putri, 2014:7).

Referensi:                                           
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Putri, Ary Kunti, dkk. 2014. “Pemerolehan Bahasa Indonesia pada Anak Usia Dini di Desa Beraban, Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.” (Digilib.undiksha.ac.id. Diunduh 22 Maret 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar