Selasa, 10 Januari 2017

Hubungan Berbahasa, Berpikiran, dan Berbudaya



HUBUNGAN
BERBAHASA, BERPIKIRAN, DAN BERBUDAYA

TUGAS
diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan
Pengantar Psikolinguistik
yang dibina oleh Dra. Elya Ratna, M.Pd.


Description: Description: Description: logo.jpg



Deta Fitrianita/ 1300820
Nomor Urut: 14









PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016

HUBUNGAN
BERBAHASA, BERPIKIRAN, DAN BERBUDAYA

A.    Bahasa Berbahasa
1.      Bahasa
Bahasa berasal dari kata Sanskerta भाषा, bhāṣā yang artinya adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk dipergunakan bertutur dengan manusia lainnya dengan tanda, misalnya kata dan gerakan. Oka dan Suparno (1994:3) mendefinisikan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang arbitrer yang digunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) sebagai alat komunikasi.
Menurut Chaer (2009:30), para pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, yang kemudian lazim ditambah dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mendefinisikan diri.
Kridalaksana (dalam Chaer, 2003:32) menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sehubungan dengan itu, Menurut Chaer dan Agustina ( 2004: 11) bahasa adalah sebuah sistem.artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Menurut Chaer (2003:33—56), sesuai dengan definisi yang diberikan oleh beberapa pakar, jika dibutiri akan didapatkan beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa. Sifat atau ciri itu adalah sebagai berikut.
a.      Bahasa sebagai Sistem
Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. sistem terbentuk oleh sejumlah unsur yang satu dan yang lain berhubungan secara fungsional. Bahasa terdiri dari unsur-unsur yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu kesatuan. Sebagai sebuah sistem,bahasa itu bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem atau sistem bawahan (dikenal dengan nama tataran linguistik). Tataran linguistik terdiri dari tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon. Secara hirarkial, bagan subsistem bahasa tersebut sebagai berikut.
b.      Bahasa sebagai Lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam bidang kajian ilmu semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa tanda yaitu: tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympton), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.

c.       Bahasa adalah Bunyi
Bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Tetapi juga tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa.

d.      Bahasa itu Bermakna
Salah satu sifat hakiki dari bahasa adalah bahasa itu berwujud lambang. Sebagai lambang, bahasa melambangkan suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Maka, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyi makna. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
[kuda], [makan], [rumah], [adil], [tenang] : bermakna = bahasa
[dsljk], [ahgysa], [kjki], [ybewl] : tidak bermakna = bukan bahasa

e.       Bahasa itu Arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan ‘sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinant de Saussure (dalam Chaer, 2003: 46) dalam dikotominya membedakan apa yang dimaksud signifiant dan signifie. Signifiant (penanda) adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie (petanda) adalah konsep yang dikandung signifiant.
Bolinger (dalam Chaer, 2003: 46) mengatakan: Seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka seseorang yang tidak tahu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum pernah kita dengar, karena bunyi kata tersebut tidak memberi ”saran” atau ”petunjuk” apapun untuk mengetahui maknanya.

f.       Bahasa itu Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat bahasa Indonesia harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan digantikan dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.

g.      Bahasa itu Produktif
Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kita ambil fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem tersebut dapat kita hasilkan satuan-satuan bahasa:
/i/-/k/-/a/-/t/ 
/k/-/i/-/t/-/a/
/k/-/i/-/a/-/t/
/k/-/a/-/i/-/t/

h.      Bahasa itu Unik
Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.

i.        Bahasa itu Universal
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.


j.        Bahasa itu Dinamis
Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru, peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.

k.      Bahasa itu Bervariasi
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut maka bahasa yang digunakan menjadi bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat perorangan. 
Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.
Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Misalnya, ragam baku dan ragam tidak baku.

l.        Bahasa itu Manusiawi
Alat komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi binatang bersifat tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan dinamis. Maka, bahasa bersifat manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.

2.      Berbahasa
Chaer (2009:44) menjelaskan bahwa berbahasa merupakan salah satu perilaku dari kemampuan manusia sama dengan kemampuan dan perilaku untuk berpikir, bercakap-cakap, bersuara, ataupun bersiul. Lebih spesifik lagi berbahasa itu merupakan kegiatan dan proses memahami dan menggunakan isyarat komunikasi yang disebut bahasa. Berbahasa merupakan gabungan berurutan antara dua proses yaitu proses deduktif dan proses reseptif. Proses produktif berlangsung pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri pendengar yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna yang disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat-alat pendengar.
Chaer (2009:45) berpendapat bahwa proses produksi atau proses rancangan berbahasa disebut enkode. Sedangkan, proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut proses dekode. Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan enkode semantik, yakni proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian. Dilanjutkan dengan enkode gramatikal, yakni penyusunan konsep atau ide itu dalam bentuk satuan gramatikal. Selanjutnya diteruskan dengan enkode fonologi, yakni penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses enkode ini terdapat dalam otak pembicara, kecuali representasi fonologinya
Proses produksi atau proses rancangan berbahasa disebut enkode. Sedangkan, proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut proses dekode. Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan enkode semantik, yakni proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian. Dilanjutkan dengan enkode gramatikal, yakni penyusunan konsep atau ide itu dalam bentuk satuan gramatikal. Selanjutnya diteruskan dengan enkode fonologi, yakni penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses enkode ini terdapat dalam otak pembicara, kecuali representasi fonologinya yang terjadi di dalam mulut, dilakukan oleh alat-alat bicara, atau alat artikulasi (Chaer, 2009:45).

B.     Hubungan Bahasa dengan Pikiran
Mueller (dalam Dardjowidjojo, 2010:283) berpendapat bahawa bahasa dan pikiran tidak dapat dipisahkan. Manusia tidak mungkin berpikir tanpa bahasa. Piaget (dalam Dardjowidjojo, 2010:283) meneliti anak-anak untuk melihat bagaimana bahasa terkait dengan pikiran. Munurutnya ada dua macam modus pikiran, yaitu pikiran terarah (directed) atau pikiran inteligen (intelligent) dan pikiran tak terarah atau pikiran autistik (autistic). Berdasarkan penda[at ahli tersebut, Darjowidjojo (2010:284) menyimpulkan pada saat anak tumbuh, berpikir yang terujarkan menjadi makin kecil dan setelah dewasa berpikir tidka lagi dilakukan dengan memakai kata yang terujarkan. Jarak yang makin jauh antara inner speech dengan bunyi fonetik yang dipakai untuk mewakilinya mempercepat proses berpikir.
Menurut Maksan (1993:72), “Pengembangan daya berpikir seseorang sama sekali tidak tergantung pada bahasa ataupun secara khusus lagi kepada berbicara. Orang bisu yang sama sekali tidak dapat menggunakan bahasa, atau orang bisu yang tidak pernah berbahasa, tetap memiliki pikiran.”
            Orang tuli dan bisu tetap memiliki kemampuan untuk menyampaikan pikirannya itu kepada orang lain. Di samping itu, orang yang menguasai bahasa lebih dari satu bahasa (dwibahasawan atau multibahasawan) tidak pernah merasakan bahwa pikiran mereka terpengaruh oleh bahasa yang mereka kuasai.
Menurut Steinberg (dalam Maksan, 1993:74), “ Dalam hubungan penggunaan bahasa dengan aspek pikiran, terdapat tiga pokok pikiran yang penting, yaitu (1) bahasa untuk memperoleh sesuatu yang baru, (2) bahasa dapat digunakan untuk mengubah tata nilai, dan (3) bahasa dapat digunakan untuk membantu daya ingatan.“
            Mengetahui suatu bahasa mungkin tidak akan mempengaruhi cara berpikir kita, melainkan mngkin hanya dapat menambah isi dari pikiran kita. Jadi, mengetahui suatu bahasa atau lebih tidak akan menyebabkan perubahan atau memberikan pengaruh terhadap pikiran kita, melainkan hanya sekedar menambah perolahan sesuatu yang sifatnya. Bahasa sebenarnya dapat digunakan untuk membantu daya ingatan seseoarang. Dengan bahasa kita dapat mengingat secara lebih baik, teratur, dan sistematis. Jadi, bahasa membantu kita untuk dapat mempertajam ingatan kita kepada sesuatu, tetapi bahasa tidak mengendalikan pemikiran kita. 
            Maksan (1993:73) menjelaskan bahwa bahasa menentukan atau mempengaruhi cara kita melihat alam sekitar. Hal ini berarti bahwa orang yang mempunyai kemampuan berbahasa yang lebih dari satu, seperti dwibahasawan dan multibahasawan akan memiliki pandangan yang banyak pula terhadap alam sekitarnya. Kenyataannya tidaklah demikian. Dwibahasawan atau multibahasawan sekalipun tetap mempunyai satu macam pandangan terhadap alam atau lingkungannya. Bahasa yang mereka kuasai tidak memberikan dampak terhadap pandangan mereka.
            Chaer (2009:51) mengemukakan teori dari beberapa ahli mengenai bahasa dengan pikiran. Teori-teori tersebut sebagai berikut.
1.    Teori Wilhelm Von Humboldt
            Humboldt (dalam Chaer, 2009:51) menenkankan adanya ketergantungann pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat bahasa itu sendiri. Anggota masyarakat tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya. Bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalan bentuk-dalam.  Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk-dalam bahasa berada di dalam otak.

2.    Teori Edward Sapir
            Edward Sapir linguis Amerika mengatakan bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.  Benjamin Lee Whorf (dalam Chaer, 2009:52) menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang  berdiri sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sama didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dappat diterjemahkan satu sama lain. Whorf melanjutkan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri.

3.    Teori Jean Piaget
            Piaget (dalam Chaer, 2009:54) berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa bukan sebaliknya. Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting sebagao berikut.
a.    Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan, hubungan-hubungan benda dan bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakaian kembali.
b.    Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan terbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambang pada umumnya. 
Piaget menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu diingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensomotor ini kekekalan benda merupakan pemerolehan umum.

4.    Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky  (dalam Chaer, 2009:55) berpendapat adanya tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahp perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu, pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dann bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah kanak-kanak berpikir dengan mengunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.

5.    Teori Noam Chomsky
Chomsky (dalam Chaer, 2009:56) mengajukan teori klasik mengenai hubungan bahasa dan pemikiran yang disebut hipoteisi nurani. Secara tidak langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi dapat ditarik kesimpulan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mentak (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Bahasa dan pemikiran adalah dua buah sistem yang berasingan, dan mempunyai otonomi masing-masing. 

C.    Hubungan Bahasa dengan Ingatan
Menurut Maksan (1993:75) salah satu kemampuan mental yang dimiliki manusia untuk bermacam-macam tujuan adalah ingatan. Imgatan yang utama merupakan faktor bawaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap proses belajar yang dilakukan oleh seseorang. Apalag ada pandangan baru yang menyatakan bahwa proses belajar mengajar merupakan proses penyimpanan informasi. Pemyimpanan informasi merupakan sebagian dari kegiatan ingatan. Lebih lanjut, Su’udi (dalam Maksan, 1993:75) menyatakan “Dalam struktur ingatan sebenarnya terdapat tiga kegiatan proses informasi yang masing-masingnya adala proses penyediaan, proses penyimpangan ingatan itu, dan proses pengingatan kembali.”
Penyediaan adalah proses ditangkapnya sinyal-sinyal oleh panca indera kita. Penyediaan penglihatan merupakan ditangkapnya sinyal-sinyal suatu benda oleh mata. Sinyal itu ditafsirkan oleh mata ke dalam sandi-sandi yang akhirnya mata menyimpulkan bahwa benda yang dilihat itu adalah seeokor anjung atau seeokor bayi atau mungkin juga sebuah papan pengumuman, dan lain-lain. penyandian lain dilakukan oleh telinga. Telinga manusia menangkap sinyal-sinyal yang berupa getaran benda-benda, getaran itu ditafsirkan oleh telinga sebagai getaran dari suara.  Di samping ada materi informasi yang masuk melalui panca indera yang lain, yaitu melalui indera penciuman, perabaan, dan rasa (Su’udi dalam Maksan, 1993:75)
Sinyal-sinyal yang masuk melalui panca indera, maka akan diproses oleh pusat penglihatan untuk benda yang dilihat, dan akan diproses oleh pusat pendenganran untuk sesuatu yang didengar. Untuk materi rabaan snyal tersebut diproses oleh pusat perabaan. Hasil proses pusat penglihatan atau pusat pedengaran dan pusat perabaan itu barulah bersifat untuk mengetahui sinyal apa yang masuk. Begitu juga dengan tugas pusat pendenganran dan pusat perabaan. Tugasnya semata-mata mengubah sandi dari sinyal-sinyal apa yang masuk. Materi informasi yang disandikan oleh alat-alat panca indera tidak bertahan lama. Apabila tidak mendapat pengertian dan tidak diperlakukan secara lebih khusus maka ingatan ini akan hilang dalam waktu yang cepat (Su’udi dalam Maksan, 1993:75—76).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi daya simpan seseorang. Su’udi (dalam Maksan, 1993:77—780) mengemukakan tiga faktor itu adalah pribadi seseorang, jenis informasi, dan tingkat pembelajaran.
Su’udi (dalam Maksan, 1993:77—78) menjelaskan bahwa
Faktor pribadi adlaah faktor yang bersifat indiviual yang dibawa sejak lahir. Setiap orang mempunyai kemampuan mengingat dalam kadar yang tidak sama. Ada yang mempunyai daya ingat yang tajam dan sekali saja ia melihat atau mendengar sesuatu maka ia tidak pernah lupa lagi. Ada pula orang yang mudah mengingat informasi ikonik saja, sedangkan dalam hal informsi ekhoik ia sering lupa, begitu juga ada orang yang sering lupa dengan apa yang dilihatnya, namun ingatan sangat setia terhadap hal-hal yang pernah didengarkannya.

Faktor kedua adalah jenis informasi itu sendiri. Ada informasi verbal dan ada pula informasi nonverbal. Informasi nnverbal adalah informasi yang tidak dapat divisualisasikna dengan kata-kata, sepeti suara jangkrik di tengah malam. Sedangkan informasi verbal adalah segala jenis informasi yang dpat disampaikan dengan menggunakan bahasa (lisan dan tulis). Informasi ini terbagi atas dua yaitu yang bermakna dan yang tidak bermakna. Informasi verbal yang bermakna adalah seluruh ujaran atau tulsan yang mempunai makna yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lian. Sedangkan informasi verbal yang tidak bermakna dapat berbentuk lisan maupun tulis, misalnya mendengar orang berkata abrakadabra, jelas tidak ada maknanya. Namun demikian informsai verbal yang tidak bermakna ada yang dapat diasosiasikan atau dihubungkan dengan hal-hal yang mempunyai makna (Su’udi dalam Maksan, 1993:78—79).
Su’udi (dalam Maksan, 1993:79) menjelaskan
Faktor terakhir yang mempengaruhi daya simpan seseorang adalah tingkat pembelajaran orang itu. Pembelajaran disini dimaksudkan sejak masuknya informasi melalui indera sampai dengan penyimpanan informsai itu. Kegiatan ini haruslah dilakukan dengan sadar, terarah, dan terencana dengan baik. Semua informsai pat disimpan dengan baik kalau seseorang mempunyai ketiga syarat atau faktor yang memungkinkan ia untuk menyimpan informasi itu.

Lepage (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) mengatakan “Memori tidak berada di suatu tempat khusus di otak.” Kapur dan Cabeza (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) berpendapat bahwa penyimpanan memori dan retrival memori tidak berada pada tempat yang sama. Mereka dapati bahwa penyimpanan memori dilakukan oleh hamisfir kiri, khususnya di korteks prafrontal, korteks cingulate anterior, dan girus parahippocampal. Sementara itu, retrival memori dilakukan oleh hemisfir kanan pada tiga daerah yang sama ini. Memori tidak hanya ada satu macam.
Panfield dan Robert (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) menyebut
Adanya memori pengalaman, memori konseptual, dan memori kata. Memori pengalaman adalah memori yang berkaitan dengan masa lalu. Semakin bermakna suatu pengalaman, maka akan semakin lama memori itu disimpan atau diingat. Memori konseptual adala memori yang dipakai untuk membangun konsep berdasarkan fakta-fakta yang masuk. Memori kata adalah memori yang mengaitkan konsep dengan wujud bunyi dari konsep tersebut.

Sementara itu, Squire dan Kandel (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) membagi memori menjadi memori deklaratif dan memori nondeklaratif. Memori nondeklaratif berasal dari pengalaman tetapi terwujud dalam bentuk perubahan perilaku, bukan rekoleksi terhadap peristiwa masa lalu. Berbeda dengan memori deklaratif, memori nondeklaratif bersifat instingtif. Sementara itu, memori deklaratif adalah memori untuk peristiwa, fakta, kata, muka, musik, dan segala bentuk pengetahuan yang telah kita peroleh selama hidup. Bagaimana  memori macam ini diperoleh ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu unsur keseringa, faktor relevansi, faktor signifikansi, faktor gledi kotor, dan faktor keteraturan.
Dardjowidjojo (2010:275) menjelaskan bahwa memori bisa terbentuk tanpa kita mengadakan suatu usaha khusus untuk memperolehnya. Kalau seseorang menceritakan kejadian yang terjadi padanya tadi pagi, kejadian itu akan dapat masuk ke dalam memori kita hanya dari mendengarkan cerita itu. Sebaliknya, hafalan hanya akan menjadi memori dengan suatu usaha atau tindakan yang khusus. Sesuatu akan dapat dengan mudah dihafalkan apabila bahan itu bermakna. Suatu kalimat yang tidak karuan tidak aakan mudah untuk dihafal.

D.    Bahasa Berbahasa dan Budaya (Hubungan Bahasa dengan Budaya)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa digunakan masyarakat dalam berbudaya. Bahasa melahirkan kebudayaan. Terkait dengan budaya, Nababan (dalam Chaer dan Agustina, 2004:214) berpendapat bahwa kebudayaan melingkupi segala aspek dan unsur kehidupan manusia. Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan,yaitu: 1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat, 2)  definisi yang  melihat kebuayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar dan pendidikan (nurture), 3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusil, dan 4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Kroeber dan Kluckhon (dalam Chaer dan Agustina, 2004:214) mengelompokkan kebudayaan menjadi enam golongan menurut sifat definisinya yaitu: 1) definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan  pada unsur-unsur kebudayaan, 2) definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, 3) definisi normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, 4) definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, 5) definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur, dan 6) definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasilk karya manusia.
Berdasarkan pengertian-pengertian kebudayaan tersebut, disimpulkan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia sejak terbentuknya masyarakat hingga terjadinya hubungan antaranggota masyakat tertentu.
Terkait dengan hubungan bahasa dengan  budaya, menurut Chaer dan Agustina (2004:213) ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang perlu diperhatikan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, seingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berpikir manusia atau masyarkat peuturnya.
Koentjaraningrat (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 217) menjelaskan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkungan kebudayaan. Jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, yakni bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan, sedangkan Masinambouw (dalam Chaer dan Agustina, 2004:218) menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan adalah satu sistem yang mengatur interaksi menusia di dalam masyarakat, berarti kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi tersebut.
Menurut Nababan (1993: 50) bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaa. Kebudayaan manusia tidak akan dapat terjadi tanpa bahasa. Bahasa adalah faktor yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Jadi, bahasa adalah sine qua non (yang harus ada) bagi kebudayaan dan masyarakat manusia. Selanjutnya Nababan juga menjelaskan hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan yaitu bahwa bahasa sebagai sistem komunikasi mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya. Hubungan lain antara bahasa dan kebudayaan yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Semuanya yang dibicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. Oleh karena itu, maka perlu mempelajari sesuatu bahasa jika ingin mendalami kebudayaan atau masyarakat dari bahasa itu.
Silzer (dalam Chaer dan Agustina, 2004:218) menjelaskan mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam yakni dua buah fenomena yang terikat erat. Kedua, bahasa dan budaya seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada sekeping mata uang logam. Sisi yang satu adalah sistem kebahasaan dan sisi yang lain adalah sistem kebudayaan. Jadi, Silzer berpendapat bahwa kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan.
Sejalan dengan pendapat Silzer, Masinambouw (dalam Chaer dan Agustina, 2004:219) mengemukakan bahwa hal lain yang menarik dalam hubungan koordinatif antara bahasa dan budaya adalah adanya hipotesis yang sangat controversial yakni hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Di dalam hipotesisinya dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, dan oleh karena itu mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dnajalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.

Referensi:
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang.
Oka, I.G.N, dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar