HUBUNGAN
BERBAHASA,
BERPIKIRAN, DAN BERBUDAYA
TUGAS
diajukan untuk memenuhi
tugas perkuliahan
Pengantar
Psikolinguistik
yang dibina oleh Dra. Elya
Ratna, M.Pd.

Deta
Fitrianita/ 1300820
Nomor
Urut: 14
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
HUBUNGAN
BERBAHASA,
BERPIKIRAN, DAN BERBUDAYA
A.
Bahasa
Berbahasa
1.
Bahasa
Bahasa berasal dari
kata Sanskerta भाषा, bhāṣā yang
artinya adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk dipergunakan bertutur
dengan manusia lainnya dengan tanda, misalnya kata dan gerakan. Oka dan Suparno
(1994:3) mendefinisikan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang
arbitrer yang digunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) sebagai alat
komunikasi.
Menurut Chaer
(2009:30), para pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa
sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, yang kemudian lazim
ditambah dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk
berinteraksi dan mendefinisikan diri.
Kridalaksana (dalam Chaer, 2003:32) menjelaskan
bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para
anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Sehubungan dengan itu, Menurut Chaer dan Agustina (
2004: 11) bahasa adalah sebuah sistem.artinya, bahasa itu dibentuk oleh
sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Menurut Chaer (2003:33—56), sesuai dengan definisi
yang diberikan oleh beberapa pakar, jika dibutiri akan didapatkan beberapa ciri
atau sifat yang hakiki dari bahasa. Sifat atau ciri itu adalah sebagai berikut.
a.
Bahasa
sebagai Sistem
Sistem berarti susunan teratur berpola yang
membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. sistem terbentuk oleh
sejumlah unsur yang satu dan yang lain berhubungan secara fungsional. Bahasa
terdiri dari unsur-unsur yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan
membentuk satu kesatuan. Sebagai sebuah sistem,bahasa itu bersifat sistematis
dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak
tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem
tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem atau sistem bawahan (dikenal dengan
nama tataran linguistik). Tataran linguistik terdiri dari tataran fonologi,
tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon.
Secara hirarkial, bagan subsistem bahasa tersebut sebagai berikut.
b.
Bahasa
sebagai Lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang
dalam bidang kajian ilmu semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda
yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa
tanda yaitu: tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympton),
gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang bersifat arbitrer,
artinya tidak ada hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan
yang dilambangkannya.
c.
Bahasa
adalah Bunyi
Bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat
dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam tekanan
udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Tetapi juga
tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa.
d.
Bahasa
itu Bermakna
Salah satu sifat hakiki dari bahasa adalah bahasa
itu berwujud lambang. Sebagai lambang, bahasa melambangkan suatu pengertian,
suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud
bunyi itu. Maka, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyi makna. Karena bahasa
itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan
bahasa.
[kuda], [makan], [rumah], [adil], [tenang] :
bermakna = bahasa
[dsljk], [ahgysa], [kjki], [ybewl] : tidak bermakna
= bukan bahasa
e.
Bahasa
itu Arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan ‘sewenang-wenang,
berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer
itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud
bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Ferdinant de Saussure (dalam Chaer, 2003: 46) dalam dikotominya membedakan apa
yang dimaksud signifiant dan signifie. Signifiant (penanda) adalah lambang
bunyi itu, sedangkan signifie (petanda) adalah konsep yang dikandung
signifiant.
Bolinger (dalam Chaer, 2003: 46) mengatakan:
Seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka
seseorang yang tidak tahu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata
apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak
makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum
pernah kita dengar, karena bunyi kata tersebut tidak memberi ”saran” atau
”petunjuk” apapun untuk mengetahui maknanya.
f.
Bahasa
itu Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang
dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk
suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat
bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk
mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai, dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat bahasa
Indonesia harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan digantikan dengan
lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.
g.
Bahasa
itu Produktif
Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun
unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya
terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak terbatas, meski
secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya,
kita ambil fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat
fonem tersebut dapat kita hasilkan satuan-satuan bahasa:
/i/-/k/-/a/-/t/
/k/-/i/-/t/-/a/
/k/-/i/-/a/-/t/
/k/-/a/-/i/-/t/
h.
Bahasa
itu Unik
Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap
bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya.
Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem
pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.
i.
Bahasa
itu Universal
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat
universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa
yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah
bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
j.
Bahasa
itu Dinamis
Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan
gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya
dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan
manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu
selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi
dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru,
peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.
k.
Bahasa
itu Bervariasi
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri
dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan latar belakang budaya
yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut maka bahasa yang digunakan menjadi
bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat
perorangan.
Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.
Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi
tertentu. Misalnya, ragam baku dan ragam tidak baku.
l.
Bahasa
itu Manusiawi
Alat komunikasi manusia berbeda dengan binatang.
Alat komunikasi binatang bersifat tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi
manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan dinamis. Maka, bahasa bersifat
manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan
oleh manusia.
2.
Berbahasa
Chaer (2009:44) menjelaskan bahwa berbahasa
merupakan salah satu perilaku dari kemampuan manusia sama dengan kemampuan dan
perilaku untuk berpikir, bercakap-cakap, bersuara, ataupun bersiul. Lebih
spesifik lagi berbahasa itu merupakan kegiatan dan proses memahami dan
menggunakan isyarat komunikasi yang disebut bahasa. Berbahasa merupakan
gabungan berurutan antara dua proses yaitu proses deduktif dan proses reseptif.
Proses produktif berlangsung pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode
bahasa yang bermakna dan berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada
diri pendengar yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna yang
disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui
alat-alat pendengar.
Chaer (2009:45) berpendapat bahwa proses produksi
atau proses rancangan berbahasa disebut enkode. Sedangkan, proses penerimaan,
perekaman, dan pemahaman disebut proses dekode. Proses rancangan berbahasa
produktif dimulai dengan enkode semantik, yakni proses penyusunan konsep, ide,
atau pengertian. Dilanjutkan dengan enkode gramatikal, yakni penyusunan konsep
atau ide itu dalam bentuk satuan gramatikal. Selanjutnya diteruskan dengan
enkode fonologi, yakni penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses enkode ini
terdapat dalam otak pembicara, kecuali representasi fonologinya
Proses produksi atau proses rancangan berbahasa
disebut enkode. Sedangkan, proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut
proses dekode. Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan enkode
semantik, yakni proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian. Dilanjutkan
dengan enkode gramatikal, yakni penyusunan konsep atau ide itu dalam bentuk
satuan gramatikal. Selanjutnya diteruskan dengan enkode fonologi, yakni
penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses enkode ini terdapat dalam otak
pembicara, kecuali representasi fonologinya yang terjadi di dalam mulut,
dilakukan oleh alat-alat bicara, atau alat artikulasi (Chaer, 2009:45).
B.
Hubungan
Bahasa dengan Pikiran
Mueller (dalam
Dardjowidjojo, 2010:283) berpendapat bahawa bahasa dan pikiran tidak dapat
dipisahkan. Manusia tidak mungkin berpikir tanpa bahasa. Piaget (dalam
Dardjowidjojo, 2010:283) meneliti anak-anak untuk melihat bagaimana bahasa
terkait dengan pikiran. Munurutnya ada dua macam modus pikiran, yaitu pikiran
terarah (directed) atau pikiran
inteligen (intelligent) dan pikiran
tak terarah atau pikiran autistik (autistic).
Berdasarkan penda[at ahli tersebut, Darjowidjojo (2010:284) menyimpulkan pada
saat anak tumbuh, berpikir yang terujarkan menjadi makin kecil dan setelah
dewasa berpikir tidka lagi dilakukan dengan memakai kata yang terujarkan. Jarak
yang makin jauh antara inner speech dengan
bunyi fonetik yang dipakai untuk mewakilinya mempercepat proses berpikir.
Menurut Maksan
(1993:72), “Pengembangan daya berpikir seseorang sama sekali tidak tergantung
pada bahasa ataupun secara khusus lagi kepada berbicara. Orang bisu yang sama
sekali tidak dapat menggunakan bahasa, atau orang bisu yang tidak pernah
berbahasa, tetap memiliki pikiran.”
Orang tuli dan bisu tetap memiliki
kemampuan untuk menyampaikan pikirannya itu kepada orang lain. Di samping itu,
orang yang menguasai bahasa lebih dari satu bahasa (dwibahasawan atau
multibahasawan) tidak pernah merasakan bahwa pikiran mereka terpengaruh oleh
bahasa yang mereka kuasai.
Menurut
Steinberg (dalam Maksan, 1993:74), “ Dalam hubungan penggunaan bahasa dengan
aspek pikiran, terdapat tiga pokok pikiran yang penting, yaitu (1) bahasa untuk
memperoleh sesuatu yang baru, (2) bahasa dapat digunakan untuk mengubah tata
nilai, dan (3) bahasa dapat digunakan untuk membantu daya ingatan.“
Mengetahui suatu bahasa mungkin
tidak akan mempengaruhi cara berpikir kita, melainkan mngkin hanya dapat
menambah isi dari pikiran kita. Jadi, mengetahui suatu bahasa atau lebih tidak
akan menyebabkan perubahan atau memberikan pengaruh terhadap pikiran kita,
melainkan hanya sekedar menambah perolahan sesuatu yang sifatnya. Bahasa
sebenarnya dapat digunakan untuk membantu daya ingatan seseoarang. Dengan
bahasa kita dapat mengingat secara lebih baik, teratur, dan sistematis. Jadi,
bahasa membantu kita untuk dapat mempertajam ingatan kita kepada sesuatu,
tetapi bahasa tidak mengendalikan pemikiran kita.
Maksan (1993:73) menjelaskan bahwa
bahasa menentukan atau mempengaruhi cara kita melihat alam sekitar. Hal ini
berarti bahwa orang yang mempunyai kemampuan berbahasa yang lebih dari satu,
seperti dwibahasawan dan multibahasawan akan memiliki pandangan yang banyak
pula terhadap alam sekitarnya. Kenyataannya tidaklah demikian. Dwibahasawan
atau multibahasawan sekalipun tetap mempunyai satu macam pandangan terhadap
alam atau lingkungannya. Bahasa yang mereka kuasai tidak memberikan dampak
terhadap pandangan mereka.
Chaer (2009:51) mengemukakan teori
dari beberapa ahli mengenai bahasa dengan pikiran. Teori-teori tersebut sebagai
berikut.
1. Teori Wilhelm Von Humboldt
Humboldt (dalam Chaer, 2009:51)
menenkankan adanya ketergantungann pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya,
pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat
bahasa itu sendiri. Anggota masyarakat tidak dapat menyimpang lagi dari
garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya. Bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalan bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar,
sedangkan bentuk-dalam bahasa berada di dalam otak.
2. Teori Edward Sapir
Edward Sapir linguis Amerika
mengatakan bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas
tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah
bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Benjamin Lee Whorf (dalam Chaer, 2009:52)
menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan
bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang
berdiri sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa
mempunyai bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan
yang sama didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian
bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling
dappat diterjemahkan satu sama lain. Whorf melanjutkan bahwa bahasa menentukan
pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri.
3. Teori Jean Piaget
Piaget (dalam Chaer, 2009:54)
berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak
akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa
bukan sebaliknya. Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek
(pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting sebagao berikut.
a. Sumber
kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode
sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, membuat lebih
dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan,
hubungan-hubungan benda dan bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakaian
kembali.
b. Pembentukan
pikiran yang tepat dikemukakan dan terbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu
konstitusi fungsi lambang pada umumnya.
Piaget
menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi atau perilaku
yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga
perilaku bahasa. Yang perlu diingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensomotor
ini kekekalan benda merupakan pemerolehan umum.
4.
Teori
L.S. Vygotsky
Vygotsky (dalam Chaer, 2009:55) berpendapat adanya
tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahp
perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan
ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa
berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang
secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran
berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu,
pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dann bekerja sama, serta saling
mempengaruhi. Begitulah kanak-kanak berpikir dengan mengunakan bahasa dan
berbahasa dengan menggunakan pikiran.
5.
Teori
Noam Chomsky
Chomsky (dalam
Chaer, 2009:56) mengajukan teori klasik mengenai hubungan bahasa dan pemikiran
yang disebut hipoteisi nurani. Secara tidak langsung membicarakan hubungan
bahasa dengan pemikiran, tetapi dapat ditarik kesimpulan bahwa pengkajian
bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mentak
(pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam
adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Bahasa dan
pemikiran adalah dua buah sistem yang berasingan, dan mempunyai otonomi
masing-masing.
C.
Hubungan
Bahasa dengan Ingatan
Menurut Maksan
(1993:75) salah satu kemampuan mental yang dimiliki manusia untuk
bermacam-macam tujuan adalah ingatan. Imgatan yang utama merupakan faktor
bawaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap proses belajar yang dilakukan oleh
seseorang. Apalag ada pandangan baru yang menyatakan bahwa proses belajar
mengajar merupakan proses penyimpanan informasi. Pemyimpanan informasi
merupakan sebagian dari kegiatan ingatan. Lebih lanjut, Su’udi (dalam Maksan,
1993:75) menyatakan “Dalam struktur ingatan sebenarnya terdapat tiga kegiatan
proses informasi yang masing-masingnya adala proses penyediaan, proses
penyimpangan ingatan itu, dan proses pengingatan kembali.”
Penyediaan adalah
proses ditangkapnya sinyal-sinyal oleh panca indera kita. Penyediaan
penglihatan merupakan ditangkapnya sinyal-sinyal suatu benda oleh mata. Sinyal
itu ditafsirkan oleh mata ke dalam sandi-sandi yang akhirnya mata menyimpulkan
bahwa benda yang dilihat itu adalah seeokor anjung atau seeokor bayi atau
mungkin juga sebuah papan pengumuman, dan lain-lain. penyandian lain dilakukan
oleh telinga. Telinga manusia menangkap sinyal-sinyal yang berupa getaran
benda-benda, getaran itu ditafsirkan oleh telinga sebagai getaran dari suara. Di samping ada materi informasi yang masuk
melalui panca indera yang lain, yaitu melalui indera penciuman, perabaan, dan
rasa (Su’udi dalam Maksan, 1993:75)
Sinyal-sinyal yang
masuk melalui panca indera, maka akan diproses oleh pusat penglihatan untuk
benda yang dilihat, dan akan diproses oleh pusat pendenganran untuk sesuatu
yang didengar. Untuk materi rabaan snyal tersebut diproses oleh pusat perabaan.
Hasil proses pusat penglihatan atau pusat pedengaran dan pusat perabaan itu
barulah bersifat untuk mengetahui sinyal apa yang masuk. Begitu juga dengan
tugas pusat pendenganran dan pusat perabaan. Tugasnya semata-mata mengubah
sandi dari sinyal-sinyal apa yang masuk. Materi informasi yang disandikan oleh
alat-alat panca indera tidak bertahan lama. Apabila tidak mendapat pengertian
dan tidak diperlakukan secara lebih khusus maka ingatan ini akan hilang dalam
waktu yang cepat (Su’udi dalam Maksan, 1993:75—76).
Ada tiga faktor yang
mempengaruhi daya simpan seseorang. Su’udi (dalam Maksan, 1993:77—780)
mengemukakan tiga faktor itu adalah pribadi seseorang, jenis informasi, dan
tingkat pembelajaran.
Su’udi (dalam Maksan,
1993:77—78) menjelaskan bahwa
Faktor
pribadi adlaah faktor yang bersifat indiviual yang dibawa sejak lahir. Setiap
orang mempunyai kemampuan mengingat dalam kadar yang tidak sama. Ada yang
mempunyai daya ingat yang tajam dan sekali saja ia melihat atau mendengar
sesuatu maka ia tidak pernah lupa lagi. Ada pula orang yang mudah mengingat
informasi ikonik saja, sedangkan dalam hal informsi ekhoik ia sering lupa,
begitu juga ada orang yang sering lupa dengan apa yang dilihatnya, namun
ingatan sangat setia terhadap hal-hal yang pernah didengarkannya.
Faktor kedua adalah
jenis informasi itu sendiri. Ada informasi verbal dan ada pula informasi
nonverbal. Informasi nnverbal adalah informasi yang tidak dapat
divisualisasikna dengan kata-kata, sepeti suara jangkrik di tengah malam.
Sedangkan informasi verbal adalah segala jenis informasi yang dpat disampaikan
dengan menggunakan bahasa (lisan dan tulis). Informasi ini terbagi atas dua
yaitu yang bermakna dan yang tidak bermakna. Informasi verbal yang bermakna
adalah seluruh ujaran atau tulsan yang mempunai makna yang ingin disampaikan
oleh seseorang kepada orang lian. Sedangkan informasi verbal yang tidak
bermakna dapat berbentuk lisan maupun tulis, misalnya mendengar orang berkata abrakadabra, jelas tidak ada maknanya.
Namun demikian informsai verbal yang tidak bermakna ada yang dapat
diasosiasikan atau dihubungkan dengan hal-hal yang mempunyai makna (Su’udi
dalam Maksan, 1993:78—79).
Su’udi (dalam Maksan,
1993:79) menjelaskan
Faktor
terakhir yang mempengaruhi daya simpan seseorang adalah tingkat pembelajaran
orang itu. Pembelajaran disini dimaksudkan sejak masuknya informasi melalui
indera sampai dengan penyimpanan informsai itu. Kegiatan ini haruslah dilakukan
dengan sadar, terarah, dan terencana dengan baik. Semua informsai pat disimpan
dengan baik kalau seseorang mempunyai ketiga syarat atau faktor yang
memungkinkan ia untuk menyimpan informasi itu.
Lepage (dalam Dardjowidjojo,
2010:274) mengatakan “Memori tidak berada di suatu tempat khusus di otak.”
Kapur dan Cabeza (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) berpendapat bahwa penyimpanan
memori dan retrival memori tidak berada pada tempat yang sama. Mereka dapati
bahwa penyimpanan memori dilakukan oleh hamisfir kiri, khususnya di korteks
prafrontal, korteks cingulate anterior, dan girus parahippocampal. Sementara itu,
retrival memori dilakukan oleh hemisfir kanan pada tiga daerah yang sama ini.
Memori tidak hanya ada satu macam.
Panfield dan Robert
(dalam Dardjowidjojo, 2010:274) menyebut
Adanya
memori pengalaman, memori konseptual, dan memori kata. Memori pengalaman adalah
memori yang berkaitan dengan masa lalu. Semakin bermakna suatu pengalaman, maka
akan semakin lama memori itu disimpan atau diingat. Memori konseptual adala
memori yang dipakai untuk membangun konsep berdasarkan fakta-fakta yang masuk.
Memori kata adalah memori yang mengaitkan konsep dengan wujud bunyi dari konsep
tersebut.
Sementara itu, Squire
dan Kandel (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) membagi memori menjadi memori
deklaratif dan memori nondeklaratif. Memori nondeklaratif berasal dari
pengalaman tetapi terwujud dalam bentuk perubahan perilaku, bukan rekoleksi
terhadap peristiwa masa lalu. Berbeda dengan memori deklaratif, memori
nondeklaratif bersifat instingtif. Sementara itu, memori deklaratif adalah
memori untuk peristiwa, fakta, kata, muka, musik, dan segala bentuk pengetahuan
yang telah kita peroleh selama hidup. Bagaimana memori macam ini diperoleh ditentukan oleh
berbagai faktor, yaitu unsur keseringa, faktor relevansi, faktor signifikansi,
faktor gledi kotor, dan faktor keteraturan.
Dardjowidjojo
(2010:275) menjelaskan bahwa memori bisa terbentuk tanpa kita mengadakan suatu
usaha khusus untuk memperolehnya. Kalau seseorang menceritakan kejadian yang
terjadi padanya tadi pagi, kejadian itu akan dapat masuk ke dalam memori kita
hanya dari mendengarkan cerita itu. Sebaliknya, hafalan hanya akan menjadi
memori dengan suatu usaha atau tindakan yang khusus. Sesuatu akan dapat dengan
mudah dihafalkan apabila bahan itu bermakna. Suatu kalimat yang tidak karuan
tidak aakan mudah untuk dihafal.
D.
Bahasa
Berbahasa dan Budaya (Hubungan Bahasa dengan Budaya)
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan
oleh masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan
diri. Bahasa digunakan masyarakat dalam berbudaya. Bahasa melahirkan kebudayaan.
Terkait dengan budaya, Nababan (dalam Chaer dan Agustina, 2004:214)
berpendapat bahwa kebudayaan melingkupi segala aspek dan unsur kehidupan
manusia. Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan,yaitu:
1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat,
2) definisi yang melihat kebuayaan sebagai hal-hal yang
diperoleh manusia melalui belajar dan pendidikan (nurture), 3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan
perilaku manusil, dan 4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem
komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan
kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Kroeber dan Kluckhon
(dalam Chaer dan Agustina, 2004:214) mengelompokkan kebudayaan menjadi enam golongan
menurut sifat definisinya yaitu: 1) definisi yang deskriptif, yakni definisi
yang menekankan pada unsur-unsur
kebudayaan, 2) definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa
kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, 3) definisi normatif, yakni
definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah
laku, 4) definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan
kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan
belajar hidup, 5) definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan
sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur, dan 6) definisi
yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai
hasilk karya manusia.
Berdasarkan
pengertian-pengertian kebudayaan tersebut, disimpulkan bahwa kebudayaan adalah
segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia sejak terbentuknya
masyarakat hingga terjadinya hubungan antaranggota masyakat tertentu.
Terkait dengan hubungan
bahasa dengan budaya, menurut Chaer dan
Agustina (2004:213) ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan
yang perlu diperhatikan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat,
sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan, seingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan
tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa
sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berpikir manusia atau masyarkat
peuturnya.
Koentjaraningrat (dalam
Chaer dan Agustina, 2004: 217) menjelaskan bahwa bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkungan kebudayaan.
Jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang
subordinatif, yakni bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan, sedangkan
Masinambouw (dalam Chaer dan Agustina, 2004:218) menyebutkan bahwa bahasa dan
kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan
adalah satu sistem yang mengatur interaksi menusia di dalam masyarakat, berarti
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi
tersebut.
Menurut Nababan (1993:
50) bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem
dari sistem kebudayaa. Kebudayaan manusia tidak akan dapat terjadi tanpa
bahasa. Bahasa adalah faktor yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Jadi,
bahasa adalah sine qua non (yang
harus ada) bagi kebudayaan dan masyarakat manusia. Selanjutnya Nababan juga
menjelaskan hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan yaitu bahwa bahasa
sebagai sistem komunikasi mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi
wadahnya. Hubungan lain antara bahasa dan kebudayaan yaitu bahwa kunci bagi
pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya.
Semuanya yang dibicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang
kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa
itu. Oleh karena itu, maka perlu mempelajari sesuatu bahasa jika ingin
mendalami kebudayaan atau masyarakat dari bahasa itu.
Silzer (dalam Chaer dan
Agustina, 2004:218) menjelaskan mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat
koordinatif ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu
seperti anak kembar siam yakni dua buah fenomena yang terikat erat. Kedua, bahasa dan budaya seperti
hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada sekeping mata uang
logam. Sisi yang satu adalah sistem kebahasaan dan sisi yang lain adalah sistem
kebudayaan. Jadi, Silzer berpendapat bahwa kebahasaan dan kebudayaan merupakan
dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat
dipisahkan.
Sejalan dengan pendapat
Silzer, Masinambouw (dalam Chaer dan Agustina, 2004:219) mengemukakan bahwa hal
lain yang menarik dalam hubungan koordinatif antara bahasa dan budaya adalah
adanya hipotesis yang sangat controversial yakni hipotesis dari dua pakar
linguistik ternama, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Di dalam
hipotesisinya dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya,
tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, dan oleh karena itu
mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda
bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran
yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia
itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak
mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan
dnajalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan
tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.
Referensi:
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian
Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang.
Oka,
I.G.N, dan Suparno. 1994. Linguistik Umum.
Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar