Selasa, 10 Januari 2017

Hipotesis Pemerolehan Bahasa dan Pemerolehan Semantik



HIPOTESIS PEMEROLEHAN BAHASA
DAN PEMEROLEHAN SEMANTIK

TUGAS
diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan
Pengantar Psikolinguistik
yang dibina oleh Dra. Elya Ratna, M.Pd.


Description: Description: Description: logo.jpg



Deta Fitrianita/ 1300820
Nomor Urut: 14









PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016

HIPOTESIS PEMEROLEHAN BAHASA
DAN PEMEROLEHAN SEMANTIK

A.    Hipotesis Pemerolehan Bahasa
Menurut Chaer (2009:167) “Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa.” Ada beberapa teori atau hipotesis yang berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa. Hipotesis yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.      Hipotesis Nurani
Menurut Chaer (2009:168) dalam pemerolehan bahasa jelas bahwa yang diperoleh oleh anak adalah kompetensi dan performansi bahasa pertamanya itu.dalam proses pemerolehan bahasa yang terlebih dahulu dikuasai oleh kanak-kanak adalah komponen sintaksis, semantik, dan fonologi yang berupa rumus-rumus (kaidah-kaidah). Selain itu, untuk bisa memahami dan membuat kalimat-kalimat, perlu juga terlebih dahulu dikuasai atau dimiliki rumus-rumus yang mengubah bentuk-bentuk dalam (struktur-kalimat) menjadi bentuk luar (struktur-luar).
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak-kanak, kemudian oleh Chaer (2009:169) disimpulkan “Manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Lalu, karena sukar dibuktikan secara empiris, maka pandangan ini mengajukan suatu hipotesis yang disebut hipotesis nurani.”
Simanjuntak (dalam Chaer, 2009:169) menjelaskan ada dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme. Hipotesis nurani bahasa merupakan satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisme bahasa. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Maka, perbedaan kedua hipotesis ini adalah bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan terdapatnya sesuatu ‘benda’ nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan berbahasa. Sedangkan, hipotesis nurani mekanisme terdapat suatu ‘benda’ nurani berbentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa dan berbahasa hanyalah sebagian saja dari yang umum itu.
Rounded Rectangle: Tata Bahasa 
Formal Bahasa X

Rounded Rectangle: LAD

Rounded Rectangle: Ucapan-ucapan
Bahasa X

Chomsky dan Miller (dalam Chaer, 2009:169) mengatakan “Adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu namanya language acquistion device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya. Berikut adalah cara kerja LAD.”








 



Input                                                                                                    Output
Chaer (2009:170) menjelasakn bahwa:
Adanya hipotesis mengenai LAD ini semakin memperkuat pandangan para ahli di bidang pemerolehan bahsa, bahwa kanak-kanak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya. Buktinya, meskipun masukan yang berupa ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan dengan struktur yang tidak gramatikal, namun ternyata kanak-kanak dapat saja menguasai bahasa ibunya itu. Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh oleh kanak-kanak dalam keadaan yang beragam-ragam dan dengan corak yang bagaimanapun.

Chaer (2009:170) hipotesis nurani mekanisme lebih menarik perhatian beberapa ahli tertentu daripada hipotesis nurani bahasa, yang sebelumnya lebih diperhatikan sebagai dasar pengkajian pemerolehan bahasa. Dewasa ini, hipotesis nurani lebih dikenal dengan nania yang diusulkan oleh Mc. Neil (1970), hipotesis kesemestaan linguistik kuat (strong linguistic universal), atau versi kuat hipotesis nurani (strong version of the innateness hypotesis). Sedangkan hipotesis mekanisme mendapat nama baru yaitu kesemstaan linguistik lemah (weak linguistic universal) atau versi lemah hipotesis nurani.
Bloom (dalam Chaer, 2009:172) mengatakan bahwa:
Ucapan kanak-kanak memounyai banyak penafsiran dan orang dewasa (terutama ibu si kanak-kanak) pada umum dapat menafsirkan ucapan kanak-kanak itu dengan tepat. Misalnya, meskipun kanak-kanak hanya mengucapkan sebuah kata saja, tetapi dapat ditafsirkan sebagai sebuah kalimat yang lengkap menurut arti dan fungsi di dalam komunikasi. Ucapan satu kata yang mengandung satu frase atau satu kalimat disebut holofrasis.

Chaer(2009:172) mengatakan bahwa ucapan holofrasis ini menjadi bukti akan wujudnya LAD bentuk baru sebagai bagian dari versi kuat hipotesis nurani yang menekankan pada komponen semantik. Ucapan holofrasis kanak-kanak ini merupakan bukti yang sugestif bahwa sebenarnya pada tahanp ucapan satu kata ini kanak-kanak telah mampu menyampaikan makna komunikasi dengan hubungan-hubungan tata bahasa dasar. Hal ini dapat dipastikan karena kanak-kanak pada tahap ini belum mengerti apa yang sintaksis itu.
2.      Hipotesis Tabularasa
Tabularasa secara harfiah berarti kertas kosong dalam arti belum ditulis apa-apa. Lalu, hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada mulanya dikemukakan oleh John Locke seorang tokoh empirisme yang sangat terkenal, kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
Chaer (2009:173) menjelaskan bahwa:
Dalam hal ini menurut hipotesis tabularasa semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang bentuk dengan cara pembelajaran S – R (Stimulus-Respons). Cara pembelajaran S – R yang terkemuka adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.

Menurut Chaer (2009:173) teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa perilaku bebahasa seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di sekitar orang itu. Seorang kanak-kanak yang sedang memperoleh sistem bunyi bahasa ibunya, pada mulanya akan mengucapkan semua bunyi yang ada pada semua bahasa yang ada di dunia ini pada tahap berceloteh (babling period).
Chaer (2009:176) memberikan penjelasan “Seseorang akan dapat mengeluarkan kalimat apabila ornag lain mengeluarkan stimulus. Kreativitas seseorang untuk mengeluarkan kalimat hanya diterangkan menurut konsep S-----R, yaitu sebagai rantaian peristiwa yang dihubungkan.” Sementara itu, Skinner (dalam Chaer, 2009:176) menjelaskan bahwa “Berbicara merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui.” Untuk menjelaskan hal ini Skinner (dalam Chaer, 2009:176—177) memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan, yaitu mands, tacts, echoics, texuals, dan intra verbal operant.
a.      Mand
Kata mand adalah akar dari kata command, demand, dan lain-lain. satu mand adalah satu operan bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan, merampas, atau menghabiskan,. Di dalam tata bahasa mand ini sama dengan kalimat mperatif. Mand ini muncul sebagai kalimat imperatif, permohonan, atau rayuan, hanya apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Hal ini mungkin karena dahulu kalimat seperti ini telah pernah diamati oleh penutur ketika seseorang mengucapkan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang dirampas, disingkirkan, atau diambil (manded) daripadanya. Jadi, mand memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan dahulu yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan.

b.      Tacts
Tact adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Di dalam tata bahasa tact ini dapat disamakan dengan menemani atau menyebut nama sesuatu benda atau peristiwa. Umpamanya kalau kita melihat sebuah mobil sebagai stimulus maka kita akan mengeluarkan satu tact ‘mobil’ sebagai respons.

c.       Echoics
Echoics adalah satu perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respons orang lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapan itu. Umpamanya apabila seseorang mengatakan ‘mobil’, maka stimulus itu membuat kita mengucapkan kata ‘mobil’ sebagai respons.

d.      Textual
Texual adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan sistematik antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan respons ucapan apabila membacanya secara langsung. Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulus maka kita memberi respons [kucing].

e.       Intraverbal Operant
Intraverbal operant adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu yang dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya, kalau sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan diucapkan sebagai respons. Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai stimulus akan membangkitkan kata kembali sebagai responsnya.

3.      Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Chaer (2009:178) menjelaskan dalam “Kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Pieget telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak. Pieget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif (intelek) secara umum.”
Chaer (2009:178—179) menjelaskan bahwa menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan inis ecara garis besar adalah sebagai berikut.
a.       Antara usia 0 sampai 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian diatur menjadi struktur-struktur akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini kanak-kanak mulai membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim disebut kekekalan benda. Maksudnya, kanak-kanak telah mulai sadar bahwa meskipun benda-benda yang pernah diamatinya atau disentuhnya hilang dari pandangannya, namun tidak berarti benda-benda itu tidak ada lagi di dunia ini. Dia sekarang tahu bahwa benda-benda itu dapat dicari dengan struktur aksi tertentu. Misalnya, melihat di tempat lain.
b.      Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahunsampai 7 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, dan lain-lain.
c.       Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan representasi simboliknya, berakhir, maka masa kanak-kanak semakin berkembang, dan dengan mendapat nilai-nilai sosialnya. Struktur-struktur linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif umumnya yang telah dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Zwart (dalam Chaer, 2009:179) merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut.
a.       Kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi.
b.      Jika gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabilapola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. pola aksi ini pada mulanya selalu mempunyai hubungan dengan kanak-kanak itu, dan di dalam pola aksi itu selalu terjalin unsur, yaitu agen, aksi, dan penderita.
c.       Setelah tahap kedua tersebut, muncullah fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat, dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur:
Subjek – verbal – objek
Atau
Agen + aksi + penderita
Berdasarkan penjelasan tersebut, bisa dilihat bahwa hipotesis kesemestaan dalam psikologi sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Perbedaannya terletak pada nama saja karena dikemukakan oleh dua disiplin ilmu berbeda yang saling mempengaruhi, hipotesis kesemestaan kognitif oleh psikologi sedangkan hipotesis hipotesis nurani mekanisme oleh linguistik modern (Chaer, 2009:179—180).

B.     Pemerolehan Semantik
Di dalam perkembangan psikolinguistik ada beberapa teori mengenai proses pemerolehan semantik. Tiga di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Teori Hipotesis Fitur Semantik
Chaer (2009:195—196) mengemukakan asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah sebagai berikut.
a.       Fitur-fitur makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
b.      Karena pengalaman kanak-kanak mengenai dunia in dan mengenai bahasa masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai masukan leksikon.
c.       Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.
Clark (dalam Chaer, 2009: 196—197) secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut.
a.       Tahap Penyempitan Makna
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengan tahun. Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Jadi, yang disebut [meong] hanyalah kuv=cing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga [gukguk] hanyalah anjing yang ada di rumahnya saja. Tidak termasuk yang berada di luar rumah si anak.


b.      Tahap Generalisasi Berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah. Pada tahap ini kanak-kanak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau gukguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau.

c.       Tahap Medan Semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada mulanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun, setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, dan harimau, maka kata anjing hanya berlaku untuk anjing saja.

2.      Teori Hipotesis Hubungan-hubungan Gramatikal
Teori hipotesis hubungna-hubungan gramatikal ini diperkenalkan oleh Mc. Neil. Menurut Neil (dalam Chaer, 2009:197):
Pada waktu dilahirkan kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungna-hubungan gramatikal dalam yang nurani. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu ‘kamus makna kalimat’, yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis ini kanak-kanak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan-hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap lanjutan pemerolehan semantik ini.

Menurut Chaer (2009:198) “Jika kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia (±2 : 0) mereka baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk menggantikan kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal.”
Chaer (2009:198) berpendapat bahwa:
Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya secara berangsur-angsur. Secara vertikal, artinya kanak-kanak secara serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya, tetapi kata-kata itu terpisah satu sama lain. secara vertikal ini berarti fitur-fitur semantik kanak-kanak itu sama lain. secara vertikal ini berarti fitur-fitur semantik kanak-kanak itu sama dengan fitur-fitur semantik orang dewasa.

3.      Teori Hipotesis Generalisasi
Teori hipotesis generalisasi ini diperkenalkan oleh Anglin. Menurut Anglin (dalam Chaer, 2009:198) “Perkembangan semantik anak-anak mengikuti satu proses generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak.”
Chaer (2009:198—199) menjelaskan bahwa:
“Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih besar. Umpamanya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik kanak-kanak telah mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bungan tersebut. Pada tahap berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata ini dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya atau superordinat melalui generalisasi yaitu bunga. Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah, maka merekapun akan memasukkan bunga ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tubuhan.”

4.      Teori Hipotesis Primitif-primitif Universal
Teori hipotesis primitif-primitif universal mula-mula diperkenalkan oleh Postal. Lalu dikembangkan oleh Bierwisch dengan lebih terperinci. Menurut Postal (dalam Chaer, 2009:199):
Semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitif-primitif semantik universal, dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan butir-butir leksikal. Sedangkan, setiap primitif semantik itu mempunyai satu hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh struktur biologi manusia itu sendiri.

Bierwisch (dalam Chaer, 2009:199) menyatakan bahwa “Primitif-primitif semantik atau komponen-komponen semantik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk menggolong-golongkan struktur benda-benda atau asumsi-asumsi yang diamati oleh manusia itu.” Bierwisch (dalam Chaer, 2009:199) kemudian menjelaskan bahwa Primitif-primitif atau fitur-fitur semantik ini tidak mewakili ciri-ciri fisik luar dari benda-benda itu, tetapi mewakili keadaan-keadaan berdasarkan bagaimana manusia memproses keadaan sosial dengan fisiknya. Hipotesis primitif-primitif universal ini mau tidak mau harus menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu.

Referensi:
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar