HIPOTESIS
PEMEROLEHAN BAHASA
DAN
PEMEROLEHAN SEMANTIK
TUGAS
diajukan untuk memenuhi
tugas perkuliahan
Pengantar
Psikolinguistik
yang dibina oleh Dra. Elya
Ratna, M.Pd.

Deta
Fitrianita/ 1300820
Nomor
Urut: 14
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
HIPOTESIS
PEMEROLEHAN BAHASA
DAN
PEMEROLEHAN SEMANTIK
A.
Hipotesis
Pemerolehan Bahasa
Menurut Chaer (2009:167) “Pemerolehan bahasa adalah
proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia
memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya
dibedakan dari pembelajaran bahasa.” Ada beberapa teori atau hipotesis yang
berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa. Hipotesis yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
1. Hipotesis
Nurani
Menurut Chaer (2009:168) dalam pemerolehan bahasa
jelas bahwa yang diperoleh oleh anak adalah kompetensi dan performansi bahasa
pertamanya itu.dalam proses pemerolehan bahasa yang terlebih dahulu dikuasai
oleh kanak-kanak adalah komponen sintaksis, semantik, dan fonologi yang berupa
rumus-rumus (kaidah-kaidah). Selain itu, untuk bisa memahami dan membuat kalimat-kalimat,
perlu juga terlebih dahulu dikuasai atau dimiliki rumus-rumus yang mengubah
bentuk-bentuk dalam (struktur-kalimat) menjadi bentuk luar (struktur-luar).
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang
dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak-kanak, kemudian oleh
Chaer (2009:169) disimpulkan “Manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat
yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Lalu, karena sukar
dibuktikan secara empiris, maka pandangan ini mengajukan suatu hipotesis yang
disebut hipotesis nurani.”
Simanjuntak (dalam Chaer, 2009:169) menjelaskan ada
dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani
mekanisme. Hipotesis nurani bahasa merupakan satu asumsi yang menyatakan bahwa
sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh
tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisme bahasa.
Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa
oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani
umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Maka, perbedaan kedua hipotesis ini
adalah bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan terdapatnya sesuatu ‘benda’
nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan berbahasa.
Sedangkan, hipotesis nurani mekanisme terdapat suatu ‘benda’ nurani berbentuk
mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa dan berbahasa
hanyalah sebagian saja dari yang umum itu.



![]() |
|||
![]() |
|||
Input Output
Chaer (2009:170) menjelasakn bahwa:
Adanya
hipotesis mengenai LAD ini semakin memperkuat pandangan para ahli di bidang
pemerolehan bahsa, bahwa kanak-kanak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk
memperoleh bahasa ibunya. Buktinya, meskipun masukan yang berupa ucapan-ucapan
penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan dengan struktur
yang tidak gramatikal, namun ternyata kanak-kanak dapat saja menguasai bahasa
ibunya itu. Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh oleh kanak-kanak dalam
keadaan yang beragam-ragam dan dengan corak yang bagaimanapun.
Chaer (2009:170) hipotesis nurani mekanisme lebih
menarik perhatian beberapa ahli tertentu daripada hipotesis nurani bahasa, yang
sebelumnya lebih diperhatikan sebagai dasar pengkajian pemerolehan bahasa.
Dewasa ini, hipotesis nurani lebih dikenal dengan nania yang diusulkan oleh Mc.
Neil (1970), hipotesis kesemestaan linguistik kuat (strong linguistic universal), atau versi kuat hipotesis nurani (strong version of the innateness hypotesis).
Sedangkan hipotesis mekanisme mendapat nama baru yaitu kesemstaan
linguistik lemah (weak linguistic
universal) atau versi lemah hipotesis nurani.
Bloom (dalam Chaer, 2009:172) mengatakan bahwa:
Ucapan
kanak-kanak memounyai banyak penafsiran dan orang dewasa (terutama ibu si
kanak-kanak) pada umum dapat menafsirkan ucapan kanak-kanak itu dengan tepat.
Misalnya, meskipun kanak-kanak hanya mengucapkan sebuah kata saja, tetapi dapat
ditafsirkan sebagai sebuah kalimat yang lengkap menurut arti dan fungsi di
dalam komunikasi. Ucapan satu kata yang mengandung satu frase atau satu kalimat
disebut holofrasis.
Chaer(2009:172) mengatakan bahwa ucapan holofrasis
ini menjadi bukti akan wujudnya LAD bentuk baru sebagai bagian dari versi kuat
hipotesis nurani yang menekankan pada komponen semantik. Ucapan holofrasis
kanak-kanak ini merupakan bukti yang sugestif bahwa sebenarnya pada tahanp
ucapan satu kata ini kanak-kanak telah mampu menyampaikan makna komunikasi
dengan hubungan-hubungan tata bahasa dasar. Hal ini dapat dipastikan karena
kanak-kanak pada tahap ini belum mengerti apa yang sintaksis itu.
2. Hipotesis
Tabularasa
Tabularasa secara harfiah berarti kertas kosong
dalam arti belum ditulis apa-apa. Lalu, hipotesis tabularasa ini menyatakan
bahwa bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan
ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada mulanya
dikemukakan oleh John Locke seorang tokoh empirisme yang sangat terkenal,
kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson seorang tokoh terkemuka
aliran behaviorisme dalam psikologi.
Chaer (2009:173) menjelaskan bahwa:
Dalam
hal ini menurut hipotesis tabularasa semua pengetahuan dalam bahasa manusia
yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi
peristwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu.
Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan
linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang bentuk dengan
cara pembelajaran S – R (Stimulus-Respons). Cara pembelajaran S – R yang
terkemuka adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah
yang telah dimodifikasi menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.
Menurut Chaer (2009:173) teori pembelajaran bahasa
pelaziman operan menyatakan bahwa perilaku bebahasa seseorang dibentuk oleh
serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di sekitar orang itu.
Seorang kanak-kanak yang sedang memperoleh sistem bunyi bahasa ibunya, pada
mulanya akan mengucapkan semua bunyi yang ada pada semua bahasa yang ada di
dunia ini pada tahap berceloteh (babling
period).
Chaer (2009:176) memberikan penjelasan “Seseorang
akan dapat mengeluarkan kalimat apabila ornag lain mengeluarkan stimulus.
Kreativitas seseorang untuk mengeluarkan kalimat hanya diterangkan menurut
konsep S-----R, yaitu sebagai rantaian peristiwa yang dihubungkan.” Sementara
itu, Skinner (dalam Chaer, 2009:176) menjelaskan bahwa “Berbicara merupakan
satu respons operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam atau
dari luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui.” Untuk menjelaskan hal ini
Skinner (dalam Chaer, 2009:176—177) memperkenalkan sekumpulan kategori respons
bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan, yaitu mands, tacts, echoics, texuals, dan intra verbal operant.
a.
Mand
Kata mand adalah
akar dari kata command, demand, dan
lain-lain. satu mand adalah satu
operan bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan, merampas,
atau menghabiskan,. Di dalam tata bahasa mand
ini sama dengan kalimat mperatif. Mand
ini muncul sebagai kalimat imperatif, permohonan, atau rayuan, hanya
apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Hal ini mungkin karena dahulu
kalimat seperti ini telah pernah diamati oleh penutur ketika seseorang
mengucapkan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang dirampas, disingkirkan, atau
diambil (manded) daripadanya. Jadi, mand memerlukan satu interaksi khusus
antara keadaan dahulu yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang
yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan.
b.
Tacts
Tact
adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus.
Di dalam tata bahasa tact ini dapat
disamakan dengan menemani atau menyebut nama sesuatu benda atau peristiwa.
Umpamanya kalau kita melihat sebuah mobil sebagai stimulus maka kita akan
mengeluarkan satu tact ‘mobil’
sebagai respons.
c. Echoics
Echoics adalah
satu perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respons orang lain sebagai
stimulus dan kita meniru ucapan itu. Umpamanya apabila seseorang mengatakan
‘mobil’, maka stimulus itu membuat kita mengucapkan kata ‘mobil’ sebagai
respons.
d. Textual
Texual
adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa
sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis
itu. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan sistematik antara sistem penulisan
(ejaan) suatu bahasa dengan respons ucapan apabila membacanya secara langsung.
Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulus maka kita
memberi respons [kucing].
e.
Intraverbal
Operant
Intraverbal
operant adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku
berbahasa terdahulu yang dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya, kalau
sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya
dengan kata itu akan diucapkan sebagai respons. Kata meja, misalnya akan
membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai stimulus akan
membangkitkan kata kembali sebagai responsnya.
3. Hipotesis
Kesemestaan Kognitif
Chaer (2009:178) menjelaskan dalam “Kognitifisme
hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Pieget telah digunakan
sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak.
Pieget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori
mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu
bagian dari perkembangan kognitif (intelek) secara umum.”
Chaer (2009:178—179) menjelaskan bahwa menurut teori
yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan
struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh
kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang di
sekitarnya. Urutan pemerolehan inis ecara garis besar adalah sebagai berikut.
a. Antara
usia 0 sampai 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara
bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian diatur
menjadi struktur-struktur akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini
kanak-kanak mulai membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim
disebut kekekalan benda. Maksudnya, kanak-kanak telah mulai sadar bahwa
meskipun benda-benda yang pernah diamatinya atau disentuhnya hilang dari
pandangannya, namun tidak berarti benda-benda itu tidak ada lagi di dunia ini.
Dia sekarang tahu bahwa benda-benda itu dapat dicari dengan struktur aksi
tertentu. Misalnya, melihat di tempat lain.
b. Setelah
struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap representasi
kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahunsampai 7 tahun. Pada tahap ini
kanak-kanak telah mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti
permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, dan lain-lain.
c. Setelah
tahap representasi kecerdasan, dengan representasi simboliknya, berakhir, maka
masa kanak-kanak semakin berkembang, dan dengan mendapat nilai-nilai sosialnya.
Struktur-struktur linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif
umumnya yang telah dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Zwart (dalam Chaer, 2009:179) merumuskan tahap-tahap
pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut.
a. Kanak-kanak
memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk
menyampaikan satu pola aksi.
b. Jika
gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan memakai
seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan
fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau
apabilapola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. pola aksi ini pada mulanya
selalu mempunyai hubungan dengan kanak-kanak itu, dan di dalam pola aksi itu
selalu terjalin unsur, yaitu agen, aksi, dan penderita.
c. Setelah
tahap kedua tersebut, muncullah fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu
subjek-predikat, dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur:
Subjek – verbal – objek
Atau
Agen + aksi + penderita
Berdasarkan penjelasan
tersebut, bisa dilihat bahwa hipotesis kesemestaan dalam psikologi sama atau
sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Perbedaannya
terletak pada nama saja karena dikemukakan oleh dua disiplin ilmu berbeda yang
saling mempengaruhi, hipotesis kesemestaan kognitif oleh psikologi sedangkan
hipotesis hipotesis nurani mekanisme oleh linguistik modern (Chaer,
2009:179—180).
B.
Pemerolehan
Semantik
Di dalam perkembangan psikolinguistik ada beberapa
teori mengenai proses pemerolehan semantik. Tiga di antaranya adalah sebagai
berikut.
1. Teori
Hipotesis Fitur Semantik
Chaer (2009:195—196) mengemukakan asumsi-asumsi yang
menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah sebagai berikut.
a. Fitur-fitur
makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang
digunakan oleh orang dewasa.
b. Karena
pengalaman kanak-kanak mengenai dunia in dan mengenai bahasa masih sangat
terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-kanak
hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai
masukan leksikon.
c. Karena
pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak
sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi
persepsi atau pengamatan.
Clark (dalam Chaer, 2009: 196—197) secara umum
menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap yaitu
sebagai berikut.
a. Tahap
Penyempitan Makna
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu
setengan tahun. Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang
dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Jadi, yang disebut [meong]
hanyalah kuv=cing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga [gukguk] hanyalah
anjing yang ada di rumahnya saja. Tidak termasuk yang berada di luar rumah si
anak.
b. Tahap
Generalisasi Berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun
setengah sampai dua tahun setengah. Pada tahap ini kanak-kanak mulai
menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud
dengan anjing atau gukguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang
berkaki empat, termasuk kambing dan kerbau.
c. Tahap
Medan Semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah
sampai usia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan
kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini
berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin
sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam
generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada mulanya kata
anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun, setelah mereka
mengenal kata kuda, kambing, dan harimau, maka kata anjing hanya berlaku untuk
anjing saja.
2. Teori
Hipotesis Hubungan-hubungan Gramatikal
Teori hipotesis hubungna-hubungan gramatikal ini
diperkenalkan oleh Mc. Neil. Menurut Neil (dalam Chaer, 2009:197):
Pada
waktu dilahirkan kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungna-hubungan
gramatikal dalam yang nurani. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal proses
pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu ‘kamus makna kalimat’,
yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang
digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis ini
kanak-kanak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik karena terlalu membebani
ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan-hubungan
gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara nurani sejak
lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap lanjutan
pemerolehan semantik ini.
Menurut Chaer
(2009:198) “Jika kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia (±2 : 0)
mereka baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk
menggantikan kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Penyesuaian
kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan
secara horizontal atau secara vertikal.”
Chaer (2009:198)
berpendapat bahwa:
Secara
horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur
semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya secara
berangsur-angsur. Secara vertikal, artinya kanak-kanak secara serentak
memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya, tetapi kata-kata
itu terpisah satu sama lain. secara vertikal ini berarti fitur-fitur semantik
kanak-kanak itu sama lain. secara vertikal ini berarti fitur-fitur semantik
kanak-kanak itu sama dengan fitur-fitur semantik orang dewasa.
3. Teori
Hipotesis Generalisasi
Teori hipotesis generalisasi ini diperkenalkan oleh
Anglin. Menurut Anglin (dalam Chaer, 2009:198) “Perkembangan semantik anak-anak
mengikuti satu proses generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat
hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang
konkret sampai pada yang abstrak.”
Chaer (2009:198—199) menjelaskan bahwa:
“Pada
tahap permulaan pemerolehan semantik ini kanak-kanak hanya mampu menyadari
hubungan-hubungan konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya
bertambah mereka membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang
lebih besar. Umpamanya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik kanak-kanak
telah mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara
kata itu dengan bunga-bungan tersebut. Pada tahap berikutnya setelah mereka
semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata ini dengan butir leksikal
yang lebih tinggi kelasnya atau superordinat melalui generalisasi yaitu bunga.
Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah, maka merekapun akan
memasukkan bunga ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu
tumbuh-tubuhan.”
4. Teori
Hipotesis Primitif-primitif Universal
Teori hipotesis primitif-primitif universal
mula-mula diperkenalkan oleh Postal. Lalu dikembangkan oleh Bierwisch dengan
lebih terperinci. Menurut Postal (dalam Chaer, 2009:199):
Semua
bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitif-primitif
semantik universal, dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif
semantik ini dengan butir-butir leksikal. Sedangkan, setiap primitif semantik
itu mempunyai satu hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang
ditentukan oleh struktur biologi manusia itu sendiri.
Bierwisch (dalam Chaer,
2009:199) menyatakan bahwa “Primitif-primitif semantik atau komponen-komponen
semantik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada
sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk menggolong-golongkan struktur
benda-benda atau asumsi-asumsi yang diamati oleh manusia itu.” Bierwisch (dalam
Chaer, 2009:199) kemudian menjelaskan bahwa Primitif-primitif atau fitur-fitur
semantik ini tidak mewakili ciri-ciri fisik luar dari benda-benda itu, tetapi
mewakili keadaan-keadaan berdasarkan bagaimana manusia memproses keadaan sosial
dengan fisiknya. Hipotesis primitif-primitif universal ini mau tidak mau harus
menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif
umum kanak-kanak itu.
Referensi:
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar